Common Cold

Author: drg. Kevin Marsel

“Mengakar Kuat, Menjulang Tinggi”

 

1. DEFINISI:

Infeksi virus akut yang sembuh sendiri (self-limiting) pada saluran pernapasan bagian atas yang melibatkan hidung, sinus, faring dan laring.

 

2. ETIOLOGI:

Common cold sebenarnya disebabkan oleh siapa saja dari sejumlah besar virus yang berbeda secara antigenetik. Adapun virus-virus tersebut adalah:

Virus

Persentase Kasus (%)

Mode Transmisi

Periode Inkubasi (hari)

Musim

Rhinovirus

30-50

Udara / partikel besar aerosol

2-7

Awal musim gugur / akhir musim semi

Coronavirus

10-15

Bisa jadi udara

2-4

Musim dingin / awal musim semi

Virus influenza

5-15

Udara / partikel kecil aerosol

1-4

Musim dingin / semi

Respiratory syncytial virus (RSV)

5

Partikel besar aerosol / kontak langsung dengan self-inoculation

4-5

Musim gugur ke semi

Virus parainfluenza (PIV)

5

Partikel besar aerosol / kontak langsung dengan self-inoculation

3-10

PIV 1 dan 2 - musim gugur. PIV 3 - sepanjang tahun

Adenovirus

<5

Udara / kontak langsung dengan self-inoculation

4-14

Akhir musim gugur / akhir musim semi

Metapneumovirus

± 2

 

 

 

Virus belum ditemukan

20-30

 

 

 

Faktor-faktor resiko:

a. Penurunan daya tahan tubuh.

b. Paparan debu, asap, atau gas yang bersifat iritatif.

c. Paparan dengan penderita infeksi saluran napas.

 

3. EPIDEMIOLOGI:

> Insidensi tidak bergantung pada usia. Anak di bawah 2 tahun rata-rata terinfeksi 6x dalam setahun, orang dewasa 2-3x, dan orang yang lebih tua 1x per tahun.

> Stres dan jam tidur yang rendah bisa meningkatkan resiko terinfeksi common cold pada orang dewasa, sedangkan penitipan anak meningkatkan resiko pada anak-anak prasekolah.

 

4. PATHOGENESIS:

Karakter virus pada respirasi berbeda dengan bakteri, karena pada virus memiliki kemampuan untuk menghindari proteksi yang disediakan mukosiliari dan mekanisme non-imunologi host. Patogenesis virus respiratori belum diketahui seluruhnya. Hal ini disebabkan karena virus yang berbeda memiliki sifat yang berbeda dalam menginfeksi dan tempat infeksi yang berbeda juga yang menimbulkan derajat kerusakan lapisan respiratori yang bervariasi.

 

Gambar 1. Rhinovirus

Rhinovirus, virus cold paling penting, berperan pada 80% kasus penyakit saluran napas atas selama musim gugur, umumnya menginvasi saluran napas atas dengan kerusakan minimal epithel nasal, sedangkan influenza merusak lebih luas saluran napas yang lebih bawah. Karena prevalensi rhinovirus, kebanyakan studi common cold berdasarkan pada virus ini. Deposisi awal rhinovirus pada mata dan hidung menimbulkan perlekatan virus pada reseptor sel host intercellular adhesion molecule-1 (ICAM-1) di bagian belakang tenggorokan. Sekali berada di dalam sel epithel nasal, tidak ada kenaikan signifikan pada jumlah sel inflamatori, tapi ada kenaikan jumlah neutrofil pada mukosa nasal dan sekresi. Hal ini dapat menyebabkan pelepasan kaskade inflamatori sitokin seperti kinin, leukotrien, histamin, interleukin-1, interleukin-6, interleukin-8, tumor necrosis factor, dan RANTES (diregulasi oleh aktivasi ekspresi dan sekresi sel T normal), yang juga berperan penyebab gejala. Level kinin, interleukin-1, interleukin-6, dan interleukin-8 pada sekresi nasal menunjukkan korelasi dengan keparahan dan durasi gejala.

 


Gambar 2. Virus corona HCoV-229E (bawah) dan HCoV-OC43 (atas)

Terdapat 2 grup virus corona yang menginfeksi manusia: HCoV-229E dan HCoV-OC43. Terdapat perbedaan satu sama lain dilihat dari struktur protein yang diperlihatkan imunoelektroforesis dan ELISA, meskipun mirip isi dan berat molekulnya. HCoV-229E menggunakan human aminopeptidase N (hAPN) sebagai reseptor untuk menyediakan jalan masuk ke epithelium respiratori. hAPN merupakan 150-kDa zinc-binding protein dengan aktivitas endopeptidase. Pada studi eksperimental, ketika kultur sel manusia praperawatan dengan antibodi monoklonal melawan hAPN, infeksi viral dapat diblok. Sedangkan HCoV-OC43 menyediakan jalan masuk ke epithel respirasi dengan menggunakan 2 permukaan glikoprotein, Haemag glutinin-esterase (HE) dan spike (S) glikoprotein. Walaupun berbeda pathogenesis, 2 tipe ini menimbulkan manifestasi klinis mirip.

Gambar 3. Virus influenza

Virus influenza bereplikasi melalui saluran napas. Kerusakan yang ditimbulkan lebih signifikan pada saluran napas bawah. Inflamasi difus akut laring, trakea, dan bronki terlihat melalui bronkoskopi pada pasien dengan infeksi influenza. Baik respon imun inate dan seluler meningkat selama infeksi. Sitokin proinflamatori seperti interleukin-6 (IL-6) dan interferon-a (IFN-a) diinduksi dan dilepaskan dari sel yang terinfeksi dan mencapai puncak pada hari ke 2 infeksi disertai gejala klinis terparah, produksi mukus, demam, dan viral load. Hewan dengan defisiensi baik CD4+ dan CD8+ limfosit T menderita infeksi influenza parah, mengindikasikan sistem imun selular intak penting untuk membatasi infeksi yang parah.

 

Gambar 4. RSV

RSV bereplikasi utamanya pada permukaan superfisial epithelium respiratori dan menyebar ke jalan napas bawah dari aspirasi sekresi via epithelium respiratori. Infeksi RSV menyebabkan kerusakan signifikan pada epithelium dan lebih penting, pada mukosiliari eskalator. Hal ini menghambat pembersihan mukus dan debris sel, dilanjutkan oklusi dari bronkiolus kecil. Interferon memainkan peran penting dalam menghambat replikasi viral dan infeksi RSV diketahui menyebabkan kekurangan produksi interferon lokal. RSV menginduksi produksi IL-5 dan interferon gamma. Jumlahnya terutama berkurang pada balita dibandingkan orang dewasa dan ini menjelaskan kenapa 95% anak memiliki antibodi RSV pada umur 2.

Gambar 5. hMPV

Patofisiologi infeksi hMPV baru sedikit diketahui. Para ahli infeksi pneumovirus setuju bahwa patofisiologi infeksi hMPV mirip dengan infeksi RSV, meliputi absennya viraemia. hMPV terbukti sulit diidentifikasi menggunakan prosedur virologi klinis yang umum. Ia bereplikasi perlahan dalam primary cynomolgus monkey kidney cells dan sedikit dalam sel Vero dan sel A549 (human respiratory epithelial cell line). Reagen komersial untuk mendeteksi adanya hMPV belum tersedia.

Gambar 6. PIV

Tanda penyakit PIV adalah croup (trakeobronkitis). Manifestasi berupa demam, suara serak, dan batuk menggonggong pada anak. Respon imun host juga berperan dalam patogenesisnya, cenderung memproduksi antibodi IgE spesifik virus. Kenaikan IgE menyebabkan pelepasan histamin dalam trakea dan area subglotis, sehingga terjadi pembengkakan dan obstruksi jalan napas atas.

 

5. CIRI-CIRI KLINIS:

a. Periode inkubasi bervariasi, namun di bawah 2 hari pada infeksi Rhinovirus.

b. Gejala, yang biasanya berhubungan dengan mukosa yang terinfeksi, biasanya puncaknya pada hari ke 1-3 dan berlangsung selama 7-10 hari, walaupun bisa juga berlangsung hingga 3 minggu. Gejala meliputi radang tenggorokan, rhinitis, rhinorrhea, batuk, hidung tersumbat, dapat disertai rasa gatal atau panas pada hidung, bersin-bersin, dan malaise. Keparahan dan tipe gejala bervariasi antar individual dan dengan agen infektif yang berbeda. Contohnya, demam umum pada anak tetapi jarang dan ringan pada orang dewasa.

c. Klasifikasi berdasarkan etiologi:

1). Rhinitis virus:

a). Rinitis Simplek (pilek, selesma, common cold, coryza).

Disebabkan oleh virus. Infeksi biasanya terjadi melalui droplet di udara. Beberapa jenis virus yang berperan antara lain adenovirus, picovirus, dan subgrupnya seperti rhinovirus dan coxsackievirus. Masa inkubasinya 1-4 hari dan berakhir dalam 2-3 minggu.  

b). Rinitis Influenza

Disebabkan virus influenza A, B, atau C. Tanda dan gejalanya mirip dengan common cold. Komplikasi berhubungan dengan infeksi bakteri sering terjadi.

c). Rinitis Eksantematous

Morbili, varisela, variola, dan pertusis sering berhubungan dengan rinitis, di mana didahului dengan eksantema sekitar 2-3 hari. Infeksi sekunder dan komplikasi lebih sering dijumpai dan lebih berat.

2). Rinitis Bakteri

a). Infeksi Non-Spesifik

> Rinitis bakteri primer: infeksi ini tampak pada anak dan biasanya akibat dari infeksi pneumococcus, streptococcus, atau staphylococcus. Membran putih keabu-abuan yang lengket dapat terbentuk di rongga hidung dan apabila diangkat dapat menyebabkan pendarahan/epistaksis.

> Rinitis bakteri sekunder: akibat dari infeksi bakteri pada rinitis viral akut.

b). Rinitis Difteri: disebabkan Corynebacterium diphteriae, dapat berbentuk akut atau kronis dan bersifat primer pada hidung atau sekunder pada tenggorokan. Harus dipikirkan pada penderita dengan riwayat imunisasi yang tidak lengkap. Penyakit ini semakin jarang ditemukan karena cakupan program imunisasi yang semakin meningkat.

3). Rinitis Iritan: disebabkan paparan debu, asap, atau gas yang bersifat iritatif seperti amonia, formalin, gas asam, dan lain-lain. Dapat juga disebabkan oleh trauma yang mengenai mukosa hidung selama masa manipulasi intranasal, contohnya pada pengangkatan corpus alienum. Pada rinitis iritan terdapat reaksi yang terjadi segera yang disebut dengan “immediate catarrhalreaction” bersamaan dengan bersin, rhinorhea, dan hidung tersumbat. Gejalanya dapat sembuh cepat dengan menghilangkan faktor penyebab atau dapat menetap selama beberapa hari jika epitel hidung telah rusak. Pemulihan akan bergantung pada kerusakan epitel dan infeksi yang terjadi.

 

6. DIAGNOSIS DAN PEMERIKSAAN:

Penegakan diagnosis biasanya berdasarkan presentasi klinis pasien dan pemeriksaan klinisi. Terkadang diagnosis tidak bisa ditegakkan secara pasti dikarenakan: 1). tanda klinis pada common cold bisa berhimpitan dengan faringitis dan bronkitis. Faringitis dan sinusitis bisa disebabkan oleh infeksi bakteri; 2). penyakit alergi saluran napas atas seringkali memiliki ciri klinis yang mirip dengan common cold; 3). balita dan anak kecil tidak bisa menggambarkan gejala dan klinisi harus bisa membedakan antara infeksi viral jinak dan infeksi bakterial invasif parah.

Beberapa virus respiratori memiliki presentasi klinis yang tipikal, sehingga dapat membantu pemeriksaan etiologi dari penyakit jika dipertimbangkan bersamaan dengan faktor epidemiologi, seperti umur, presentasi klinis pasien, dan musim. Terkadang mustahil memastikan virus yang spesifik penyebab common cold pada pasien saat praktik. Memastikan etiologi infeksi virus penting secara esensial karena munculnya obat-obat antiviral yang baru. Beberapa terapi diinisiasi berdasarkan diagnosis sementara; diagnosis spesifik penting untuk melihat dampak inisial dan menentukan lamanya perawatan. Deteksi viral penting untuk menghindari peresepan antibiotik yang tidak perlu. Prinsip metode laboratoris bergantung pada deteksi dalam sekresi respiratori.

Faktor lain yang juga penting dalam diagnosis viral adalah pengumpulan sample untuk tes. Koleksi dan transpor spesimen yang kurang atau tidak baik menimbulkan error dalam keakuratan hasil. Swab nasal, aspirates nasofaringeal, dan spesimen nasal wash merupakan pilihan spesimen untuk deteksi virus pernapasan. Mendapatkan aspirate dirasa kurang nyaman dan memerlukan suction oleh individu yang sudah terlatih, membuat metode ini kurang populer. Swab nasal lebih mudah, tidak sakit, cepat, dan tidak membutuhkan peralatan maupun keahlian khusus.

a. Kultur Jaringan

Isolasi virus dalam kultur jaringan merupakan standar emas dalam deteksi virus. Proses spesimen klinis seringkali dimulai dengan pemberian antibiotik dan antifungal. Biasanya diinkubasi pada suhu 33o C dan diobservasi setiap hari untuk efek virus yang diinduksi (efek sitopatik, CPE). walaupun begitu, metode ini memerlukan waktu lama, secara klinis susah diterapkan, terlebih untuk kasus di mana diagnosis rapid diperlukan untuk memulai perawatan secepatnya.

b. Tes Antigen

Keuntungan metode ini dengan immunofluorescence assay (IFA) atau enzyme linked immunoabsorbent assay (ELISA) bisa dilakukan cepat dan hasil keluar dalam waktu 24 jam. IFA dibedakan menjadi metode langsung dan tidak langsung. IFA langsung menggunakan antibodi fluorochrome-labelled yang spesifik terhadap protein virus atau antigen. Dia memfiksasi spesimen berisi material virus ke slide sehingga antibodi monoklonal spesifik virus berlabel fluorochrome bisa berikatan dengan antigen. Penambahan substrat bisa menginduksi terjadinya perubahan warna dengan fluorochrome, sehingga bisa dideteksi dengan mikroskop fluoresen. Imunofluoresen indirect menggunakan antibodi monoklonal unlabelled, yang berikatan dengan antigen virus. ELISA sangat mirip dengan IFA, namun memakai label enzime menggantikan label fluoresen. Kerugian ELISA adalah kurang sensitif dan reagen yang tersedia hanya untuk virus terbatas. Pada orang dewasa cenderung jumlah virus lebih sedikit pada aspirate nasofaringeal, membuat sensitivitas tes ini rendah.

c. Serologi (Deteksi Antibodi)

Merupakan salah satu teknik tertua dalam diagnosis virologi, dengan deteksi antibodi pada pasien diindikasikan untuk infeksi IgM sekarang atau IgG dulu. Hal ini makin penting untuk mengetahui status imun individual atau mengevaluasi respon imun terhadap vaksin. Serum merupakan spesimen untuk diagnosis serologikal dan spesimen paired serum 4 minggu dibutuhkan untuk diagnosis infeksi viral sekarang atau yang barusan terjadi. Demonstrasi serokonversi dari negatif menjadi respon antibodi IgG positif atau deteksi adanya IgM spesifik virus bisa menjadi diagnosis infeksi viral primer. Titer IgG yang naik di antara akut dan convalescent sera (biasanya terpaut 4 minggu) bisa mengindikasikan adanya infeksi yang baru saja terjadi atau reaktivasi. Hasil dari tes harus diinterpretasi secara cermat, karena: 1). bisa jadi ada keterlambatan produksi antibodi serum, khususnya pada imunokompromis; 2). pada infeksi rekuren, kenaikan signifikan pada antibodi bisa tidak terjadi; 3). level antibodi bisa tetap tinggi untuk waktu lama setelah infeksi.

d. Teknik Molekular

Teknik ini menggunakan asam nukleat virus dan sistem deteksi antigen, di mana secara fundamental berbeda dari pemeriksaan serologikal yang hanya mendeteksi komponen dari organisme itu. Pada kasus deteksi asam nukleat, integritas spesimen tidak terlalu penting, sedangkan pada kasus kultur jaringan, seluruh virus sering dibutuhkan. Virus pernapasan memiliki baik RNA atau DNA, tapi tidak keduanya. Penting untuk mengetahui struktur dari setiap virus menggunakan teknik molekular untuk mengidentifikasi asam nukleat.

 

7. PERAWATAN:

a. Non medikamentosa:

1). Istirahat yang cukup.

2). Menjaga asupan yang bergizi dan sehat.

b. Medikamentosa:

1). Simptomatik: analgetik dan antipiretik (paracetamol), dekongestan topikal, dekongestan oral (pseudoefedrin, fenilpropanolamin, fenilefrin).

2). Antibiotik: bila terdapat komplikasi seperti infeksi sekunder bakteri, contoh obatnya amoksisilin, eritromisin, sefadroksil.

3). Rinitis difteri: penisilin sistemik dan anti-toksin difteri. Jika terdapat kasus ini dilakukan pelaporan ke dinas kesehatan setempat.

c. Konseling dan Edukasi: menginformasikan individu dan keluarga untuk:

1). Menjaga tubuh selalu dalam keadaan sehat.

2). Lebih sering mencuci tangan, terutama sebelum menyentuh wajah.

3). Memperkecil kontak dengan orang-orang yang telah terinfeksi.

4). Menutup mulut ketika batuk dan bersin.

5). Mengikuti program imunisasi lengkap, seperti vaksin influenza, vaksin MMR untuk mencegah terjadinya rinitis eksantematosa.

6). Menghindari pajanan alergen bila terdapat faktor alergi sebagai pemicu.

7). Melakukan bilas hidung secara rutin.

 

8. PROGNOSIS:

a. Ad vitam: Bonam.

b. Ad functionam: Bonam.

c. Ad sanationam: Bonam.

 

9. DIFFERENTIAL DIAGNOSIS:

Sinusitis akut, adenovirus, sindrom pneumonia afebril, rhinitis alergi, bronkiolitis, bronkitis, coxsackievirus, infeksi streptokokal grup A, human metapneumovirus, infeksius mononukleosis EBV, influenza, virus human parainfluenza dan virus parainfluenza lainnya, pertussis, pneumonia, sindrom distres pernapasan, infeksi virus synctial pernapasan, infeksi saluran napas atas.


DAFTAR PUSTAKA:

Allan, G.M., dan Arroll, B., 2014, Prevention and Treatment of The Common Cold: Making Sense of The Evidence, CMAJ; 186(3): 190-199

PB IDI, 2014, Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer

Wat, D., 2004, The Common Cold: A Review of The Literature, Eur.J.of Int.Med.; Elsevier

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Anomali Gigi : Taurodonsia / Taurodontism

Anomali Gigi : Fusi

Anomali Gigi : Concrescence