Corona Virus Disease (COVID) - 19 Pandemic

Author: drg. Kevin Marsel

"Mengakar Kuat, Menjulang Tinggi"

 

I. ETIOLOGI

Pneumonia disebabkan karena infeksi nCoV 19. Virus corona merupakan virus RNA stranded envelope dan dapat diklasifikasikan menjadi empat genera (α, β, γ dan δ) dan virus-virus ini dideteksi pada berbagai spesies hewan, termasuk manusia. Ada enam virus korona manusia yang diketahui sebelumnya dapat ditularkan di antara manusia. Human alphacoronaviruses, 229E dan NL63, dan betacoronaviruses, OC43 dan HKU1, adalah virus pernapasan umum yang biasanya menyebabkan penyakit pernapasan atas ringan. Berbeda dengan jenis-jenis tadi, betacoronavirus manusia lainnya, SARS dan coronavirus MERS (termasuk nCoV 19), sangat patogen pada manusia. Tingkat fatalitas kasus SARS dan MERS, masing-masing sekitar 10% dan 35%. SARS dan MERS dapat ditularkan antara manusia dan dapat menyebabkan wabah besar di lingkungan fasilitas kesehatan maupun di lingkungan masyarakat. Baik coronavirus SARS dan MERS berasal dari zoonosis. MERS coronavirus ditemukan beredar luas di unta. Lebih dari 90% unta di negara-negara Timur Tengah seropositif untuk MERS coronavirus. Karena prevalensi yang begitu tinggi pada spesies hewan ini, penularan zoonosis sporadis virus korona MERS dari unta ke manusia telah berulang kali terdeteksi di wilayah yang terkena sejak ditemukan pada tahun 2012. Untuk wabah SARS pada tahun 2003, mamalia eksotik di pasar hewan, seperti musang palem dan rakun anjing, diyakini sebagai sumber virus. Pendeteksian coronavirus SARS pada spesies ini menyebabkan larangan sementara penjualan hewan-hewan ini pada tahun 2004, sehingga mencegah kejadian infeksi dari hewan ke manusia. Tetapi studi lebih lanjut menunjukkan bahwa hewan-hewan ini jarang positif untuk coronavirus SARS di lingkungan selain pasar, menunjukkan bahwa mereka hanya berfungsi sebagai inang perantara dalam penyebaran SARS. Surveilans virus berikutnya pada hewan liar mengidentifikasi sejumlah besar coronavirus pada kelelawar. Menariknya, beberapa koronavirus kelelawar yang secara genetik mirip dengan coronavirus SARS manusia terdeteksi pada kelelawar jenis tapal kuda. Kelompok koronavirus kelelawar mirip SARS ini, bersama dengan coronavirus SARS, membentuk clade unik di bawah subgenus Sarbecovirus. Sekarang umumnya diyakini bahwa coronavirus SARS adalah virus rekombinan antara beberapa bat SARS-like betacoronaviruses. Beberapa coronavirus kelelawar ini secara eksperimental mampu menginfeksi sel manusia dalam kultur, menunjukkan bahwa virus hewan dan rekombinan mereka dapat menimbulkan ancaman bagi kesehatan manusia.

Pada Desember 2019, sekelompok pasien pneumonia atipikal yang secara epidemiologis terkait dengan pasar hewan di Wuhan terdeteksi. Betacoronavirus novel yang dinamai 2019-novel coronavirus (2019-nCoV) telah diidentifikasi pada beberapa pasien ini. Virus ini secara genetik mirip dengan virus kelelawar di subgenus Sarbecovirus. Pada 22 Januari 2020, lebih dari 200 kasus, termasuk 4 yang fatal, telah terdeteksi di Wuhan dan provinsi lain. Selain itu, pasien yang dikonfirmasi dengan riwayat perjalanan baru-baru ini ke Wuhan telah terdeteksi di beberapa negara (Jepang: 1, Korea Selatan: 1, AS: 1 dan Thailand: 2). Beberapa kasus yang dikonfirmasi tidak memiliki hubungan epidemiologis dengan pasar hewan, menunjukkan kemungkinan penularan dari manusia ke manusia dan / atau beberapa kejadian infeksi silang di berbagai tempat.

 

Gambar 1. Pasar seafood Huanan, China yang diduga menjadi tempat pertama penyebaran infeksi

 

II. PATOGENESIS

Mekanismenya belum diketahui secara pasti, namun dicurigai virus melekat pada reseptor angiotensin converting enzyme 2 (ACE2) dan menyerang sistem pernapasan. Masa inkubasi virus rata-rata adalah 5,2 hari (antara 3 sampai 7 hari) dengan rentang sampai 14 hari.

 

Gambar 2. Gambaran mikroskopis coronavirus

III EPIDEMIOLOGI

Penelitian yang dilakukan Chen, dkk. menemukan bahwa dari 99 sample penderita, jumlah penderita lebih banyak pada laki-laki (68%) dibandingkan perempuan (32%), dengan rata-rata usia 55. Dari 99 orang, diketahui 98% pernah mengunjungi atau bekerja atau tinggal di pasar Huanan. Saat ini nCoV sudah menyebar ke seluruh dunia dengan angka terkonfirmasi: China: 28.035 kasus, Jepang: 45, Singapore: 28, Thailand: 25, Korea Selatan: 23, Hong Kong: 21, Australia: 14, Jerman: 12, US: 12, Malaysia: 12, Taiwan: 11, Vietnam: 10, Macau: 10, Prancis: 6, Kanada: 5, UEA: 5, India: 3, Italia: 2, Rusia: 2, Filipina: 2, UK: 2, Nepal: 1, Kamboja: 1, Belgia: 1, Spanyol: 1 (dapat diakses realtime oleh John Hopkins University dari: gisanddata.maps.arcgis.com/apps/opsdashboard/index.html, pada tanggal 6 Februari 2020).

 

IV. TANDA DAN GEJALA KLINIS

1. Demam.

2. Batuk.

3. Napas pendek.

4. Nyeri otot.

5. Pusing/berkunang-kunang.

6. Sakit tenggorokan.

7. Rhinorea.

8. Nyeri dada.

9. Diare.

10. Mual dan muntah.

11. Berkurangnya limfosit dan sel darah putih (kadang normal pada awalnya).

Tabel I. Klasifikasi tanda dan gejala

Uncomplicated illness

Pasien dengan gejala non-spesifik seperti demam, batuk, nyeri tenggorokan, hidung tersumbat, malaise, sakit kepala, nyeri otot. Perlu waspada pada usia lanjut dan imunocompromised karena gejala dan tanda tidak khas.

Pneumonia ringan

Pasien dengan pneumonia dan tidak ada tanda pneumonia berat. Anak dengan pneumonia ringan mengalami batuk atau kesulitan bernapas + napas cepat: frekuensi napas: <2 bulan, 60x/menit; 2-11 bulan, 50x/menit; 1-5 tahun, 40x/menit dan tidak ada tanda pneumonia berat.

Pneumonia berat

Pasien remaja atau dewasa dengan demam atau dalam pengawasan infeksi saluran napas, ditambah satu dari: frekuensi napas >30x/menit, distress pernapasan berat, atau saturasi oksigen (SpO2) <90% pada udara kamar.

Pasien anak dengan batuk atau kesulitan bernapas, ditambah setidaknya satu dari berikut:

1. Sianosis sentral atau SpO2 < 90%.

2. Distres pernapasan berat (seperti mendengkur, tarikan dinding dada yang berat).

3. Tanda pneumonia berat: ketidakmampuan menyusui atau minum, letargi atau penurunan kesadaran, atau kejang.

Tanda lain dari pneumonia yaitu: tarikan dinding dada, takipnea <2 bulan 60x/menit; 2-11 bulan 50x/menit; 1-5 tahun 40x/menit; >5 tahun 30x/menit.

Acute respiratory distress syndrome (ARDS)

Onset: baru terjadi atau perburukan dalam waktu satu minggu.

Pencitraan dada (CT scan toraks atau USG paru): opasitas bilateral, efusi pleura yang tidak dapat dijelaskan penyebabnya, kolaps paru, kolaps lobus atau nodul.

Penyebab edema: gagal napas yang bukan akibat gagal jantung atau kelebihan cairan. Perlu pemeriksaan objektif (seperti ekokardiografi) untuk menyingkirkan penyebab edema bukan akibat hidrostatik jika tidak ditemukan faktor resiko.

Kriteria ARDS pada dewasa:

1. ARDS ringan: 200 mmHg <PaO2/FiO2 ≤ 300 mmHg (dengan PEEP atau continuous positive airway pressure (CPAP) ≥5 cmH2O atau yang tidak diventilasi).

2. ARDS sedang: 100 mmHg < PaO2/FiO2 ≤200 mmHg dengan PEEP ≥5 cmH2O atau yang tidak diventilasi.

3. ARDS berat: PaO2/FiO2 ≤100 mmHg dengan PEEP ≥5 cmH2O atau yang tidak diventilasi.

4. Ketika PaO2 tidak tersedia, SpO2/FiO2 ≤315 mengindikasikan ARDS (termasuk pasien yang tidak diventilasi).

Kriteria ARDS pada anak berdasarkan Oxygenation Index dan Oxygenatin Index menggunakan SpO2:

1. PaO2/FiO2 ≤300 mmHg atau SpO2/FiO2 ≤264: bilevel noninvasive ventilation (NIV) atau CPAP ≥5 cmH2O dengan menggunakan full face mask.

2. ARDS ringan (ventilasi invasif): 4 ≤ Oxygenation Index (OI) <8 atau 5 ≤ OSI <7,5.

3. ARDS sedang (ventilasi invasif): 8 ≤ OI < 16 atau 7,5 ≤ OSI < 12,3

4. ARDS berat (ventilasi invasif): OI ≥ 16 atau OSI ≥ 12,3

 

 

V. DIAGNOSIS DAN PEMERIKSAAN

Penegakan diagnosis dilakukan dengan anamnesis yang adekuat, kecurigaan timbul apabila:

1. Perjalanan terakhir (dalam 14 hari) dari Wuhan, Provinsi Hubei, Cina. Dan untuk orang-orang dengan demam dan penyakit pernapasan yang memerlukan rawat inap dan berasal dari Cina.

2. Kontak dekat (jarak 6 kaki/2 meter) dengan orang yang diduga atau diketahui terinfeksi nCoV-19.

3. Paparan ke fasilitas kesehatan negara yang ada pasien terinfeksi nCoV. Penyakit ini terjadi pada petugas kesehatan yang bekerja di lingkungan di mana pasien dengan infeksi pernapasan akut parah dirawat, tanpa memperhatikan tempat tinggal atau riwayat perjalanan.

4. Seseorang dengan tanda dan gejala klinis yang tidak biasa, terutama yang bertambah parah meskipun telah dilakukan perawatan tanpa memedulikan tempat tinggal atau riwayat perjalanan.

5. Pemeriksaan radiograf dada ditemukan gambaran pneumonia unilateral atau bilateral atau mottling multipel dan ground glass opacity.

Tabel II. Hasil Lab pasien COVID-19

Jenis Pemeriksaan

Rentang Normal

Hasil Pasien (n=99)

Darah Rutin

 

 

Leukosit

3,5-9,5 x 109

Meningkat (24%)

 

 

Menurun (9%)

Neutrofil

1,8-6,3 x 109

Meningkat (38%)

Limfosit

1,1-3,2 x 109

Menurun (35%)

Platelet

125-350 x 109

Meningkat (4%)

 

 

Menurun (12%)

Hemoglobin

130-175 g/L

Menurun (51%)

Fungsi Koagulasi

 

 

Activated partial tromboplastin time

21-37 s

Meningkat (6%)

 

 

Menurun (16%)

Protrombin time

10,5-13,5 s

Meningkat (5%)

 

 

Menurun (30%)

D-dimer

0-1,5 μg/L

 

Meningkat (36%)

Biokimia Darah

 

 

Albumin

40-55 g/L

Menurun (98%)

Alanine aminotransferase

9-50 U/L

Meningkat (28%)

Aspartat aminotransferase

15-40 U/L

Meningkat (35%)

Bilirubin total

0-21 μmol/L

Meningkat (18%)

Nitrogen urea darah

3,6-9,5 mmol/L

Meningkat (6%)

 

 

Menurun (17%)

Serum kreatinin

57-111 μmol/L

Meningkat (3%)

 

 

Menurun (21%)

Kreatin kinase

50-310 U/L

Meningkat (13%)

 

 

Menurun (23%)

Laktat dehidrogenase

120-250 U/L

Meningkat (76%)

Myoglobin

0-146,9 ng/mL

Meningkat (15%)

Glukosa

3,9-6,1 mmol/L

Meningkat (52%)

 

 

Menurun (1%)

Biomarker infeksi

 

 

Prokalsitonin

0-5 ng/mL

Meningkat (6%)

Interleukin-6

0-7 pg/mL

Meningkat (52%)

Eritrosit sedimentation rate

0-15 mm/h

Meningkat (85%)

Serum ferritin

21-274,7 ng/mL

Meningkat (63%)

C-reactive protein

0-5 mg/L

Meningkat (86%)

 

VI. PERAWATAN

1. Triase: deteksi dini pasien dalam pengawasan 2019-nCoV.

Deteksi dini akan menentukan waktu yang tepat penerapan tatalaksana dan PPI. Pasien dengan gejala ringan, rawat inap tidak diperlukan kecuali ada kekhawatiran untuk perburukan yang cepat. Semua pasien yang pulang ke rumah harus memeriksakan diri ke rumah sakit jika mengalami perburukan.

2. Tatalaksana pasien di rumah sakit rujukan:

a. Terapi suportif dini dan pemantauan.

1). Berikan terapi suplementasi oksigen segera pada pasien ISPA berat dan distress pernapasan, hipoksemia, atau syok.

a). Terapi oksigen dimulai dengan pemberian 5 L/menit dengan nasal kanul dan titrasi untuk mencapai target SpO2  90% pada anak dan orang dewasa yang tidak hamil serta SpO2  92-95% pada pasien hamil.

b). Pada anak dengan tanda kegawatdaruratan (obstruksi napas atau apnea, distress pernapasan berat, sianosis sentral, syok, koma, atau kejang) harus diberikan terapi oksigen selama resusitasi untuk mencapai target SpO2  94%.

c). Semua pasien dengan ISPA berat dipantau menggunakan pulse oksimetri dan sistem oksigen harus berfungsi dengan baik dan semua alat-alat untuk menghantarkan oksigen (nasal kanul, sungkup muka sederhana, sungkup dengan kantong reservoir) harus digunakan sekali pakai.

d). Terapkan kewaspadaan kontak saat memegang alat-alat untuk menghantarkan oksigen (nasal kanul, sungkup muka sederhana, sungkup dengan kantong reservoir) yang terkontaminasi dalam pengawasan atau terbukti nCoV-19.

2). Gunakan manajemen cairan konservatif pada pasien dengan ISPA berat tanpa syok. Pasien dengan ISPA berat harus hati-hati dalam pemberian cairan intravena, karena resusitasi cairan yang agresif dapat memperburuk oksigenasi, terutama dalam kondisi keterbatasan ketersediaan ventilasi mekanik.

3). Pemberian antibiotik empirik berdasarkan kemungkinan etiologi. Pada kasus sepsis (termasuk dalam pengawasan nCoV-19) berikan antibiotik empirik yang tepat secepatnya dalam waktu 1 jam. Pengobatan antibiotik empirik berdasarkan diagnosis klinis (pneumonia komunitas, pneumonia nosokomial, atau sepsis), epidemiologi, dan peta kuman, serta pedoman pengobatan. Terapi empirik harus di de-ekskalasi apabila sudah didapatkan hasil pemeriksaan mikrobiologis dan penilaian klinis.

4). Jangan memberikan kortikosteroid sistemik secara rutin untuk pengobatan pneumonia karena virus atau ARDS di luar uji klinis kecuali terdapat alasan lain. Penggunakan kortikosteroid sistemik jangka panjang menimbulkan efek samping yang serius pada pasien ISPA berat/SARI, termasuk infeksi oportunistik, nekrosis avaskular, infeksi baru bakteri dan replikasi virus berkepanjangan.

5). Lakukan pemantauan ketat pasien dengan gejala klinis yang mengalami perburukan seperti gagal napas, sepsis, dan lakukan intervensi perawatan suportif secepat mungkin.

6). Pahami pasien yang memiliki komorbid untuk menyesuaikan pengobatan dan penilaian prognosisnya.

7). Tatalaksana pada pasien hamil, dilakukan terapi suportif dan penyesuaian dengan fisiologis kehamilan.

b. Pengumpulan spesimen untuk diagnosis laboratorium. Pasien konfirmasi nCoV dengan perbaikan klinis dapat keluar dari RS apabila hasil pemeriksaan Real Time-Polymerase Chain Reaction (RT-PCR) 2 kali berturut-turut dalam jangka minimal 2-4 hari menunjukkan hasil negatif (untuk spesimen saluran pernapasan atas dan bawah).

c. Manajemen gagal napas hipoksemi dan ARDS:

1). Mengenali gagal napas hipoksemi ketika pasien dengan distress pernapasan mengalami kegagalan terapi oksigen standar. Gagal napas hipoksemi pada ARDS terjadi akibat ketidaksesuaian ventilasi-perfusi atau pirau/pintasan dan biasanya membutuhkan ventilasi mekanik.

2). Oksigen nasal aliran tinggi (high flow nasal oxygen/HFNO) atau ventilasi non invasif (NIV) hanya pada pasien gagal napas hipoksemi tertentu dan pasien tersebut harus dipantau ketat untuk menilai terjadi perburukan klinis.

a). Sistem HFNO dapat memberikan aliran oksigen 60 L/menit dan FiO2sampai 1,0; sirkuit pediatrik umumnya hanya mencapai 15 L/menit, sehingga banyak anak membutuhkan sirkuit dewasa untuk memberikan aliran yang cukup. Dibandingkan dengan terapi oksigen standar, HFNO mengurangi kebutuhan akan tindakan intubasi. Pasien dengan hiperkapnia (eksaserbasi penyakit paru obstruktif, edema paru kardiogenik), hemodinamik tidak stabil, gagal multi-organ, atau penurunan kesadaran seharusnya tidak menggunakan HFNO, meskipun data terbaru menyebutkan bahwa HFNO mungkin aman pada pasien hiperkapnia ringan-sedang tanpa perburukan. Pasien dengan HFNO seharusnya dipantau oleh petugas yang terlatih dan berpengalaman melakukan intubasi endotrakeal karena bila pasien mengalami perburukan mendadak atau tidak mengalami perbaikan (dalam 1 jam) maka dilakukan tindakan intubasi segera. Saat ini pedoman berbasis bukti tentang HFNO tidak ada, dan laporan tentang HFNO pada pasien MERS-CoV masih terbatas.

b). Penggunaan NIV tidak direkomendasikan pada gagal napas hipoksemi (kecuali edema paru kardiogenik dan gagal napas pasca operasi) atau penyakit virus pandemik (merujuk pada studi SARS-CoV dan pandemi influenza). Karena hal ini menyebabkan keterlambatan dilakukannya intubasi, volume tidal yang besar dan injuri parenkim paru akibat barotrauma. Data yang ada walaupun terbatas menunjukkan tingkat kegagalan yang tinggi ketika pasien MERS-CoV mendapatkan terapi oksigen dengan NIV. Pasien hemodinamik tidak stabil, gagal multi-organ, atau penurunan kesadaran tidak dapat menggunakan NIV. Pasien dengan NIV seharusnya dipantau oleh petugas terlatih dan berpengalaman untuk melakukan intubasi endotrakeal karena bila pasien mengalami perburukan mendadak atau tidak mengalami perbaikan (dalam 1 jam) maka dilakukan tindakan intubasi segera.

c). Publikasi terbaru menunjukkan bahwa sistem HFNO dan NIV yang Pedoman Kesiapsiagaan Menghadapi Infeksi Novel Coronavirus (2019-nCoV) 37 menggunakan interface yang sesuai dengan wajah sehingga tidak ada kebocoran akan mengurangi risiko transmisi airborne ketika pasien ekspirasi.

3). Intubasi endotrakeal harus dilakukan oleh petugas terlatih dan berpengalaman dengan memperhatikan kewaspadaan transmisi airborne pasien dengan ARDS, terutama anak kecil, obesitas atau hamil, dapat mengalami desaturasi dengan cepat selama intubasi. Pasien dilakukan preoksigenasi sebelum intubasi dengan Fraksi Oksigen (FiO2) 100% selama 5 menit, melalui sungkup muka dengan kantong udara, bag-valve mask, HFNO atau NIV dan kemudian dilanjutkan dengan intubasi.

4). Ventilasi mekanik menggunakan volume tidal yang rendah (4-8 ml/kg prediksi berat badan, Predicted Body Weight/PBW) dan tekanan inspirasi rendah (tekanan plateau <30 cmH2O). Sangat direkomendasikan untuk pasien ARDS dan disarankan pada pasien gagal napas karena sepsis yang tidak memenuhi kriteria ARDS.

a). Perhitungkan PBW pria = 50 + 2,3 [tinggi badan (inci) -60], wanita = 45,5 + 2,3 [tinggi badan (inci)-60].

b). Pilih mode ventilasi mekanik.

c). Atur ventilasi mekanik untuk mencapai tidal volume awal = 8 ml/kg PBW.

d). Kurangi tidal volume awal secara bertahap 1 ml/kg dalam waktu ≤ 2 jam sampai mencapai tidal volume = 6ml/kg PBW.

e). Atur laju napas untuk mencapai ventilasi semenit (tidak lebih dari 35 kali/menit).

f). Atur tidal volume dan laju napas untuk mencapai target pH dan tekanan plateau.

Hipercapnia diperbolehkan jika pH 7,30-7,45. Protokol ventilasi mekanik harus tersedia. Penggunaan sedasi yang dalam untuk mengontrol usaha napas dan mencapai target volume tidal. Prediksi peningkatan mortalitas pada ARDS lebih akurat menggunakan tekanan driving yang tinggi (tekanan plateau−PEEP) di bandingkan dengan volume tidal atau tekanan plateau yang tinggi.

5). Pada pasien ARDS berat, lakukan ventilasi dengan prone position > 12 jam per hari. Menerapkan ventilasi dengan prone position sangat dianjurkan untuk pasien dewasa dan anak dengan ARDS berat tetapi membutuhkan sumber daya manusia dan keahlian yang cukup.

6). Manajemen cairan konservatif untuk pasien ARDS tanpa hipoperfusi jaringan. Hal ini sangat direkomendasikan karena dapat mempersingkat penggunaan ventilator.

7). Pada pasien dengan ARDS sedang atau berat disarankan menggunakan PEEP lebih tinggi dibandingkan PEEP rendah. Titrasi PEEP diperlukan dengan mempertimbangkan manfaat (mengurangi atelektrauma dan meningkatkan rekrutmen alveolar) dan risiko (tekanan berlebih pada akhir inspirasi yang menyebabkan cedera parenkim paru dan resistensi vaskuler pulmoner yang lebih tinggi). Untuk memandu titrasi PEEP berdasarkan pada FiO2 yang diperlukan untuk mempertahankan SpO2. Intervensi recruitment manoueuvers (RMs) dilakukan secara berkala dengan CPAP yang tinggi [30-40 cm H2O], peningkatan PEEP yang progresif dengan tekanan driving yang konstan, atau tekanan driving yang tinggi dengan mempertimbangkan manfaat dan risiko.

8). Pada pasien ARDS sedang-berat (td2/FiO2 <150) tidak dianjurkan secara rutin menggunakan obat pelumpuh otot.

9). Pada fasyankes yang memiliki Expertise in Extra Corporal Life Support (ECLS), dapat dipertimbangkan penggunaannya ketika menerima rujukan pasien dengan hipoksemi refrakter meskipun sudah mendapat lung protective ventilation. Saat ini belum ada pedoman yang merekomendasikan penggunaan ECLS pada pasien ARDS, namun ada penelitian bahwa ECLS kemungkinan dapat mengurangi risiko kematian.

10). Hindari terputusnya hubungan ventilasi mekanik dengan pasien karena dapat mengakibatkan hilangnya PEEP dan atelektasis. Gunakan sistem closed suction kateter dan klem endotrakeal tube ketika terputusnya hubungan ventilasi mekanik dan pasien (misalnya, ketika pemindahan ke ventilasi mekanik yang portabel).

d. Manajemen Syok Septik:

1). Kenali tanda syok septik.

a). Pasien dewasa: hipotensi yang menetap meskipun sudah dilakukan resusitasi cairan dan membutuhkan vasopresor untuk mempertahankan MAP ≥65 mmHg dan kadar laktat serum> 2 mmol/L.

b). Pasien anak: hipotensi (Tekanan Darah Sistolik (TDS) < persentil 5 atau >2 standar deviasi (SD) di bawah normal usia) atau terdapat 2-3 gejala dan tanda berikut: perubahan status mental/kesadaran; takikardia atau bradikardia (HR <90 x/menit atau >160 x/menit pada bayi dan HR <70x/menit atau >150 x/menit pada anak); waktu pengisian kembali kapiler yang memanjang (>2 detik) atau vasodilatasi hangat dengan bounding pulse; takipnea; mottled skin atau ruam petekie atau purpura; peningkatan laktat; oliguria; hipertermia atau hipotermia.

Keterangan: Apabila tidak ada pemeriksaan laktat, gunakan MAP dan tanda klinis gangguan perfusi untuk deteksi syok. Perawatan standar meliputi deteksi

dini dan tatalaksana dalam 1 jam; terapi antimikroba dan pemberian cairan dan vasopresor untuk hipotensi. Penggunaan kateter vena dan arteri berdasarkan ketersediaan dan kebutuhan pasien.

2). Resusitasi syok septik pada dewasa: berikan cairan kristaloid isotonik 30 ml/kg. Resusitasi syok septik pada anak-anak: pada awal berikan bolus cepat 20 ml/kg kemudian tingkatkan hingga 40-60 ml/kg dalam 1 jam pertama.

3). Jangan gunakan kristaloid hipotonik, kanji, atau gelatin untuk resusitasi.

4). Resusitasi cairan dapat mengakibatkan kelebihan cairan dan gagal napas. Jika tidak ada respon terhadap pemberian cairan dan muncul tanda-tanda kelebihan cairan (seperti distensi vena jugularis, ronki basah halus pada auskultasi paru, gambaran edema paru pada foto toraks, atau hepatomegali pada anak-anak) maka kurangi atau hentikan pemberian cairan.

a). Kristaloid yang diberikan berupa salin normal dan Ringer laktat. Penentuan kebutuhan cairan untuk bolus tambahan (250-1000 ml pada orang dewasa atau 10-20 ml/kg pada anak-anak) berdasarkan respons klinis dan target perfusi. Target perfusi meliputi MAP >65 mmHg atau target sesuai usia pada anak-anak, produksi urin (>0,5 ml/kg/jam pada orang dewasa, 1 ml/kg/jam pada anak-anak), dan menghilangnya mottled skin, perbaikan waktu pengisian kembali kapiler, pulihnya kesadaran, dan turunnya kadar laktat.

b). Pemberian resusitasi dengan kanji lebih meningkatkan risiko kematian dan acute kidney injury (AKI) dibandingkan dengan pemberian kristaloid. Cairan hipotonik kurang efektif dalam meningkatkan volume intravaskular dibandingkan dengan cairan isotonik. Surviving Sepsis menyebutkan albumin dapat digunakan untuk resusitasi ketika pasien membutuhkan kristaloid yang cukup banyak, tetapi rekomendasi ini belum memiliki bukti yang cukup (low quality evidence).

5). Vasopresor diberikan ketika syok tetap berlangsung meskipun sudah diberikan resusitasi cairan yang cukup. Pada orang dewasa target awal tekanan darah adalah MAP ≥65 mmHg dan pada anak disesuaikan dengan usia.

6). Jika kateter vena sentral tidak tersedia, vasopresor dapat diberikan melalui intravena perifer, tetapi gunakan vena yang besar dan pantau dengan cermat tanda-tanda ekstravasasi dan nekrosis jaringan lokal. Jika ekstravasasi terjadi, hentikan infus. Vasopresor juga dapat diberikan melalui jarum intraoseus.

7). Pertimbangkan pemberian obat inotrop (seperti dobutamine) jika perfusi tetap buruk dan terjadi disfungsi jantung meskipun tekanan darah sudah mencapai target MAP dengan resusitasi cairan dan vasopresor

a). Vasopresor (yaitu norepinefrin, epinefrin, vasopresin, dan dopamin) paling aman diberikan melalui kateter vena sentral tetapi dapat pula diberikan melalui vena perifer dan jarum intraoseus. Pantau tekanan darah sesering mungkin dan titrasi vasopressor hingga dosis minimum yang diperlukan untuk mempertahankan perfusi dan mencegah timbulnya efek samping.

b). Norepinefrin dianggap sebagai lini pertama pada pasien dewasa; epinefrin atau vasopresin dapat ditambahkan untuk mencapai target MAP. Dopamine hanya diberikan untuk pasien bradikardia atau pasien dengan risiko rendah terjadinya takiaritmia. Pada anak-anak dengan cold shock (lebih sering), epinefrin dianggap sebagai lini pertama, sedangkan norepinefrin digunakan pada pasien dengan warm shock (lebih jarang).

f. Pengobatan spesifik anti-2019-nCoV Sampai saat ini tidak ada pengobatan spesifik anti-2019-nCoV untuk pasien dalam pengawasan atau konfirmasi 2019-nCoV.

g. Antimikrobial yang digunakan saat ini:

a). Favipiravir (avigan, T-705)

Favipiravir telah dikembangkan sebagai obat anti-influenza dan dilisensikan sebagai obat anti-influenza di Jepang. Salah satu fitur unik favipiravir adalah aktivitas spektrum luasnya terhadap virus RNA, termasuk virus influenza, rhinovirus, dan virus terkait pernapasan. Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa favipiravir efektif untuk mengobati infeksi dengan virus Ebola, virus Lassa dan rabies, dan melawan demam berat dengan sindrom trombositopenia. Namun, favipiravir tidak efektif terhadap virus DNA.

Terkait dengan mekanismenya, dilaporkan bahwa favipiravir menyerang sintesis RNA virus dengan bertindak sebagai terminator rantai di tempat RNA dimasukkan ke dalam sel inang. Sebaliknya, oseltamivir (Tamiflu), penghambat neuraminidase, menghambat pembelahan asam sialic dan masuknya virus ke dalam sel. Yang penting, favipiravir, tidak seperti oseltamivir, tampaknya tidak menghasilkan virus yang resistan. Properti favipiravir ini memberi harapan manfaat potensial dalam pengobatan penyakit menular kritis seperti COVID-19.

 

Gambar 3. Poin kerja yang diusulkan dari anti-SARS-CoV-2 dalam siklus replikasi virus. Ketika partikel-partikel SARS CoV-2 berikatan dengan reseptornya, seperti angiotensin-converting enzyme 2 (ACE2), aminopeptidase N (APN; CD13) dan dipeptidyl peptidase 4 (DPP4; CD26), RNA virus dilewatkan ke sel inang, dan RNA-dependent RNA polimerase (RdRp) menghasilkan RNA virus. Selama metilasi RNA, kapsul RNA terbentuk, yang melindungi terhadap respon imun bawaan host, yang melibatkan sekresi interferon (IFN) dan sitokin (CK). Virus (guanine-N7) -methyltransferase (N7-MTase) memainkan peran penting dalam pembatasan RNA, menggunakan metil donor S adenosyl-methionine (SAM). Proses sintesis RNA virus dan translasi protein dikaitkan dengan tekanan membran yang bergantung pada pH, yang dapat menimbulkan efek buruk terhadap sel-sel kekebalan dan non-imun. Jika siklus replikasi virus tidak dihambat dan sel yang terinfeksi tidak diberantas, virus yang dikemas akan disebarluaskan ke sel lain di inang. Obat yang diusulkan dan kemungkinan poin aktingnya terhadap COVID-19 ditunjukkan oleh garis tebal.

b). Remdesivir (GS-5734)

Remdesivir adalah analog nukleotida yang digunakan untuk pengobatan infeksi yang disebabkan oleh virus Ebola dan virus Marburg. Namun, obat ini juga menunjukkan aktivitas melawan virus pernapasan, virus Junin, virus demam Lassa, virus Nipah, virus Hendra, dan virus korona MERS dan SARS.

Remdesivir menghambat polimerase RNA, kemungkinan besar melalui penundaan penghentian rantai RNA dalam sel. Oleh karena itu obat ini merupakan salah satu senyawa yang paling menjanjikan untuk mengobati COVID-19.

c). Umifenovir dan Lopinavir/Ritonavir

Umifenovir (ethyl-6-bromo-4 - [(dimethylamino) methyl] -5-hydroxy-1-methyl-2-[(phenylthio) methyl]-indole-3-carboxylate hydrochloride monohydrate; nama dagang Arbidol) adalah antivirus poten buatan Rusia  spektrum luas, yang digunakan untuk mengobati virus influenza A dan B dan virus hepatitis C (HCV). Meskipun mekanismenya sedikit berbeda tergantung pada virus, dilaporkan bahwa umifenovir menghambat fusi virus dengan membran sel inang dan selanjutnya masuk ke dalam sel inang.

Uji klinis terbaru menunjukkan bahwa obat ini, yang bisa menjadi inhibitor protease yang digunakan dalam pengobatan HIV, tidak menunjukkan manfaat menguntungkan dibandingkan standar perawatan.

Studi kohort retrospektif lain menguji umifenovir yang dikombinasikan dengan LPV / r, dibandingkan LPV / r saja, terhadap COVID-19. Hasilnya menunjukkan respons klinis yang menguntungkan dengan umifenovir dan LPV / r dibandingkan dengan LPV / r saja; Namun, studi lebih lanjut akan diperlukan untuk menentukan kemanjuran dan terjadinya resistensi. Karena SARS-CoV-2 perlu menjalani aktivasi pada permukaan sel, umifenovir yang dikombinasikan dengan LPV / r akan membantu mencegah masuknya virus. Identifikasi mekanisme yang lebih spesifik mungkin bermanfaat untuk aplikasi klinis di masa depan.

d). Chloroquine phosphate

Dilaporkan bahwa klorokuin fosfat, obat yang digunakan dengan baik untuk mengobati malaria, terbukti memiliki khasiat yang jelas, dan cukup aman, bila digunakan terhadap COVID-19 dalam uji klinis multicenter yang dilakukan di Cina. Di Cina, direkomendasikan bahwa kloroquin fosfat dimasukkan dalam versi berikutnya dari Pedoman Pencegahan, Diagnosis, dan Pengobatan Pneumonia yang Disebabkan oleh COVID-19 yang dikeluarkan oleh Komisi Kesehatan Nasional Republik Rakyat Tiongkok.

Chloroquine, yang telah digunakan sejak 1934, memiliki beberapa efek antiinflamasi dan antivirus yang telah dilaporkan oleh penelitian sebelumnya. Sebagai contoh, klorokuin memberikan efek antivirus langsung dengan menghambat replikasi pH beberapa virus, termasuk flavivirus, coronavirus, dan retrovirus seperti HIV. Selain itu, dilaporkan bahwa klorokuin memiliki efek imunomodulator yang melibatkan penurunan produksi dan pelepasan tumor necrosis factor-α (TNFα) dan interleukin (IL) -6.

Selama infeksi virus, respons imun diaktifkan dan produksi serta pelepasan sitokin pro-inflamasi, TNFα, IL-1, IL-6 dan interferon-gamma (IFNγ) meningkat. Chloroquine, menghalangi kejadian ini. Dengan demikian, klorokuin juga mencegah mekanisme merusak lebih lanjut yang dapat menyebabkan sindrom pernafasan akut, seperti perubahan tight junction, pelepasan lebih lanjut sitokin proinflamasi, dan peningkatan permeabilitas mikrovaskuler.

Studi sebelumnya menunjukkan bahwa efek penghambatan melibatkan penghambatan autofagi. Autofagi adalah mekanisme respons terhadap stres membran sel, yang disebabkan oleh kekurangan nutrisi, hipoksia, dan paparan radiasi dan agen kemoterapi. Dalam percobaan pada hewan, klorokuin sangat efektif dalam mengobati infeksi virus avian influenza A H5N1 dengan menghambat autofagi. Karena klorokuin dan analognya hidroksi klorokuin adalah penghambat autofag yang relevan secara klinis, penerapan klorokuin mungkin masuk akal dan difasilitasi.

Sebuah studi baru-baru ini menggunakan sel-sel induk kanker menunjukkan bahwa mefloquine hidroklorida, obat antimalaria yang digunakan untuk mengobati pasien dengan resistensi terhadap klorokuin, secara efisien menghilangkan sel-sel stem kanker kolorektal dengan mengganggu protein endolysosomal RAB5 / 7. Mengingat bahwa mekanisme yang bergantung pada lisosomal ini merupakan platform umum untuk infeksi virus, inhibitor autofag lainnya mungkin perlu diperiksa untuk pengobatan penyakit menular yang baru muncul, seperti COVID-19. Dalam konteks obat untuk COVID-19, juga disarankan bahwa resistansi terhadap inhibitor autofagi mungkin perlu dilakukan pemeriksaan lebih lanjut.

h. Mekanisme Potensial Target Antivirus Terhadap COVID-19:

a). angiotensin converting enzyme 2 (ACE2): ACE2 merupakan reseptor fungsional untuk SARS-CoV, diketahui dari sekuen sel tunggal dan analisis struktural protein. Studi terakhir menunjukkan bahwa receptor binding domain (RBD) dari lonjakan virus (S) -protein di SARS-CoV-2 menunjukkan interaksi yang kuat dengan molekul ACE2 manusia, meskipun urutannya beragam. Para peneliti juga menyarankan bahwa SARS-CoV-2 menimbulkan risiko kesehatan masyarakat yang signifikan untuk penularan manusia melalui jalur pengikatan S-protein-ACE2. Laki-laki memiliki ekspresi ACE2 yang lebih tinggi daripada perempuan. Studi ini juga menunjukkan bahwa pengikatan SARS-CoV-2 ke ACE2 akan meningkatkan ekspresi ACE2.

Dalam banyak penelitian pada manusia dan tikus, ekspresi ACE2 diinduksi oleh pengobatan dengan ACE inhibitor (ACEI) atau  angiotensin II receptor blocker (ARB), yang biasanya digunakan sebagai obat antihipertensi. Ekspresi transporter asam amino netral yang bergantung natrium B (0) AT1 tergantung pada keberadaan ACE2 dalam saluran pernapasan. Mengingat bahwa COVID-19 termasuk gejala seperti demam (98%), batuk (76%), dispnea (55%) dan kelelahan / nyeri otot (44%), gejalanya mungkin relevan dengan ekspresi pernapasan ACE2 .

Sebuah studi retrospektif baru-baru ini menunjukkan bahwa pasien COVID-19 dengan cardiovascular  disease (CVD) memiliki risiko kematian yang lebih tinggi. Jumlah limfosit yang lebih rendah dan indeks massa tubuh yang lebih tinggi (BMI) lebih sering terlihat pada pasien dengan kondisi serius. Sebuah penelitian terbaru menunjukkan bahwa penggunaan ACEI atau ARB untuk mengobati CVD tidak mempengaruhi morbiditas dan mortalitas COVID-19.

Selain itu, telah dilaporkan bahwa usus kecil adalah organ yang mengekspresikan ACE2 paling tinggi. Mengingat bahwa SARS-CoV-2 dapat dideteksi dalam ekskresi pasien COVID-19, kasus-kasus yang diamati ini mungkin melibatkan sel-sel dalam usus kecil yang terinfeksi dengan reseptor pengikat SARS-CoV-2.

Struktur kristal ikatan S-protein dengan ACE2 telah terungkap sebagai interaksi penting antara inang dan SARS-CoV-2. Selain itu, diketahui bahwa ACE2 berikatan dengan reseptor Angiotensin II tipe 1 (ATR1) dan transporter asam amino netral B0AT1 yang tergantung natrium, juga dikenal sebagai SLC6A19, dan ikatannya mempengaruhi pengikatan antara ACE2 dan protein-S. Selain itu, Phosphatidylinositol 3-phosphate 5-kinase (PIKfyve),  two-pore channel subtype 2 (TPC2) dan cathepsin L penting untuk masuk ke dalam sel. Di antara mereka, dilaporkan bahwa antibodi poliklonal murine SARS-CoV S, yang menargetkan epitop S, menghambat masuknya SARSCoV-2. Banyak target terapi dalam jalur masuk melalui ACE2 telah dilaporkan, yang berarti ACE2 akan menjadi target yang menjanjikan untuk terapi SARS-CoV-2.

b). Dipeptidyl Peptidase 4 (DPP4; CD26): dilaporkan bahwa dipeptidyl peptidase 4 (DPP4) adalah reseptor fungsional untuk virus korona manusia yang muncul melalui S-protein, serta ACE2. Interaksi antara virus dan membran sel inang memungkinkan untuk fusi sel-sel yang diarahkan oleh S-protein, dan menyebabkan penyebaran infeksi virus. Sebagai contoh lain yang relevan dengan tujuan obat dan strategi ideal untuk menghadapi COVID-19, peran spesifik DPP4 pada COVID-19 masih harus diselidiki. Penelitian lebih lanjut diperlukan untuk memanfaatkan DPP-4 sebagai target terapi untuk COVID-19.

c). Aminopeptidase N (APN, CD13): sebelumnya dilaporkan bahwa aminopeptidase N (APN) terlibat dalam keterlibatan reseptor luas, yang mempromosikan transmisi lintas spesies COVID-19.

Menariknya, penelitian sebelumnya mengidentifikasi APN sebagai penanda permukaan untuk sel-sel stem kanker di hati manusia. Mengulang penelitian sebelumnya juga memungkinkan untuk pengembangan poli (etilen glikol) poli (lisin) blok konjugat-kopolimer (Ubenimex) yang menargetkan APN secara khusus. Sebagai obat yang dapat digunakan ulang, inhibitor APN dosis rendah, termasuk Ubenimex atau turunannya, mungkin bermanfaat untuk menghambat penyebaran virus.

 

VII. TERAPI PLASMA KONVALESEN

Sejarah

Prinsip infus plasma konvalesen dimulai sejak tahun 1880 ketika diketahui adanya imunitas yang melawan difteri pada binatang yang diimunisasi dengan dosis non-lethal toksin, yang menyebabkan infeksi aktif. Diketahui bahwa imun plasma tidak hanya menetralisir patogen, tapi juga menyediakan imunomodulator pasif, sehingga resipien bisa mengkontrol kaskade inflamasi berlebih yang dirangsang beberapa agen infeksi atau sepsis.

Pada awal tahun 1950, pemurnian dan konsentrasi imunoglobulin dari donor sehat atau pasien yang membaik menyediakan salah satu pilihan pengobatan infeksi serius termasuk juga kondisi imun, meliputi defisiensi imun primer, alergi, dan penyakit autoimun.

Beberapa produk darah konvalesen seperti imunoglobulin intravena (IVIg) dan poliklonal atau monoklonal antibodi dikembangkan untuk mengobati kondisi infeksius. Namun, pada kondisi gawat darurat, produk ini sulit dan mahal untuk diproduksi dan bisa jadi tidak cocok dengan kontrol infeksi. Maka dari itu, plasma konvalesen digunakan secara luas dalam wabah yang tidak pernah ada sebelumnya. Seringkali sebagai pilihan terakhir atau pengobatan eksperimental.

Sejak dari influenza Spanyol hingga pandemik SARS-CoV 2, penggunaan plasma konvalesen (PK) terbukti  mengurangi case fatality rate secara signifikan. PK menjadi pilihan pada kasus influenza A (H1N1) pdm09, influenza Spanyol A (H1N1), dan infeksi SARS-CoV di mana penggunaan PK menyebabkan penurunan kasus fatal, mortalitas, dan efek samping yang ringan. Lebih lanjut, penggunaan PK pada virus corona yang lain (SARS CoV) mengurangi waktu rawat inap pasien kritis. Walaupun begitu, penting untuk dilakukannya randomized control trial penggunaan PK pada pasien gejala ringan/parah dan pasien ICU.

Keamanan penggunaan PK relevan saat epidemi. Studi terbaru menunjukkan PK aman digunakan pada situasi gawat darurat. Pada epidemi influenza A, SARS CoV, dan MERS-CoV, studi menunjukkan tidak adanya efek samping pemberian PK. Pada kasus ebola, PK menyebabkan efek samping ringan, seperti nausea, eritema kulit, dan demam. Pada COVID-19, menunjukkan pemberian PK aman dan tidak menyebabkan efek samping berat. PK menjadi opsi perawatan yang menjanjikan dilihat dari opsi terapeutik untuk mengontrol pandemi.

 

Pengumpulan dan Komposisi Plasma

Donor harus melewati standar pemeriksaan untuk mematuhi regulasi terkait donasi plasma. Pada saat akan donor, usia pendonor antara 18 dan 65 tanpa adanya gejala infeksi dan tes negatif setelah 14 hari pemulihan. Tes ini harus diulang 48 jam kemudian dan sesaat sebelum donor. Pendonor dari area endemik penyakit tropis (misal malaria) tidak diperbolehkan. Selain itu, harus memperhatikan emosional, kerawanan, dan memastikan tidak mengeksploitasi pendonor.

Prosedur yang direkomendasikan untuk mendapat plasma dengan cara apheresis. Prosedur ini berdasarkan sentrifugasi kontinu darah dari donor untuk memungkinkan pengumpulan plasma kolektif. Efisiensi dari teknik ini berkisar 400-800 mL dari tiap donor apheresis. Plasma ini bisa disimpan di lemari pendingin tiap unit 200 atau 250 mL dan beku 24 jam untuk stok transfusi selanjutnya.

 

Tabel III. PK pada pasien dengan infeksi pernapasan virus Corona (SARS, MERS, dan COVID-19)

Penelitian

Negara

Etiologi

Dx

n

Sebelum PK

Intervensi

Hasil

Mortalitas

Zhang (2020)

China

COVID-19

RT-PCR

4 org

Lopinavir/ritonavir, interferon alfa-2b, oseltamivir, ribavirin. Klinis memburuk

200-400 mL 1 atau 2 transfusi. 2400 mL dibagi 8 transfusi konsekutif

Perbaikan klinis dan pulang RS

0% grup intervensi

Shen (2020)

China

COVID-19

RT-PCR

5 org

Manajemen antiviral. Klinis memburuk.

200-250 mL 2 transfusi konsekutif PK 200 mL dosis tunggal

Perbaikan viral load, antibodi meningkat

0% grup intervensi

Duan (2020)

China

COVID-19

RT-PCR

19

Ribavirin, cefoperazone, levoflaxacin, metilprednisolon, interferon, peramivir, caspofungin. Klinis memburuk

200 mL dosis tunggal

Viral load dan gambaran paru membaik

Reduksi viral load dan gambaran paru

Ye (2020)

China

COVID-19

RT-PCR

6

Tidak dilaporkan. Klinis memburuk

200-250 mL 2 transfusi konsekutif

Perbaikan klinis dan pulang RS

0% grup intervensi

Anh (2020)

Korsel

COVID-19

RT-PCR

2

Lopinavir/ritonavir, hidroksikloroquin, dan antibiotik empiris. Klinis memburuk

Tidak dilaporkan

Reduksi viral load dan peningkatan antibodi SARS-CoV-2 dan IgM

0% grup intervensi

Soo (2004)

China

SARS-CoV

CDC Case Definition

19, kontrol 21

Intervensi: ribavirin, 3 dosis metilprednisolon (1,5 g). Kontrol: ribavirin, 4 atau lebih dosis mp (1,5 g). Perburukan klinis

200-400 mL perhari selama 11 hari dan 42 setelah onset gejala

Mortalitas, perpanjangan rawat inap, adverse events

Reduksi 23% (p=0,03)

Cheng (2005)

China

SARS-CoV

CDC case definition dan serologi

80

Tidak dilaporkan. Klinis memburuk

279 mL per hari selama 14 hari

Mortalitas, rawat inap memanjang

12,5% grup intervensi

Nie (2003)

China

SARS-CoV

Tidak dilaporkan

40

Tidak dilaporkan

PK dosis tidak dilaporkan

mortalitas

0% intervensi grup

Yeh (2005)

Taiwan

SARS-CoV

Serologi

3

Ribavirin, moxifloxacin, metilprednisolon. Klinis memburuk

Dosis tidak dilaporkan pada hari 11 onset gejala

Mortalitas, antibodi, viral load, efek samping

0% grup intervensi

Zhou (2003)

China

SARS-CoV

CDC case definition

1, kontrol 28

Semua pasien menerima ribavirin, azitromisin, levofloxacin, steroid, ventilasi mekanis. Rentan pada pasien tua komorbid

50 mL dosis tunggal hari ke 17 onset gejala

Mortalitas, rawat inap memanjang

7% reduksi (p=0,93)

Kong (2003)

Hong Kong

SARS-CoV

Dx klinis

1

Antiviral, steroid, ventilasi. Klinis memburuk

250 mL 2 dosis perhari pada hari ke 7 muncul onset gejala

Mortalitas

0% grup intervensi

Ko (2018)

Korsel

MERS-CoV

RT-PCR

3

Steroid. Klinis memburuk

PK dosis tidak spesifik

Atibodi titer

0% grup intervensi

 

Tabel IV. Efek samping PK pada epidemi yang berbeda

Penelitian

Negara

Etiologi Viral

Efek Samping

Zhang (2020)

China

COVID-19

None

Shen (2020)

China

COVID-19

None

Duan (2020)

China

COVID-19

Self-limited eritema fasial 2/10 pasien. Tidak ada efek samping mayor

Ye (2020)

China

COVID-19

None

Anh (2020)

Korsel

COVID-19

None

Soo (2004)

China

SARS-CoV

None

Cheng (2005)

China

SARS-CoV

None

Nie (2003)

China

SARS-CoV

None

Yeh (2005)

Taiwan

SARS-CoV

None

Zhou (2003)

China

SARS-CoV

None

Kong (2003)

China

SARS-CoV

None

Wong (2003)

China

SARS-CoV

None

Ko (2018)

Korsel

MERS-CoV

None

Van Griensven (2016)

Guinea

Ebola

Nausea, eritema kulit, demam. Tidak ada efek samping mayor.

Hung (2011)

China

Influenza A (H1N1)

None

Chan (2010)

China

Influenza A (H1N1)

None

Yu (2008)

China

Influenza A (H5N1)

None

Kong (2006)

China

Influenza A (H5N1)

None

 

PK membutuhkan standar kualitas tinggi, harus bebas dari segala infeksi, sehingga penting untuk melakukan tes HIV, hepatitis B, hepatitis C, sifilis, human T-cell lymphotropic virus 1 dan 2, dan Trypanosoma cruzi (jika berada di daerah endemik). Protokol lain menyarankan inaktivasi patogen dengan riboflavin atau psoralen ditambah paparan sinar UV untuk meningkatkan keamanan PK.

Tidak ada standar dosis transfusi PK. Pada beberapa studi untuk virus corona, pemberian PK berkisar antara 200-500 mL pada skema dosis tunggal atau ganda. Rekomendasi saat ini adalah 3 mL/kg per dosis dalam 2 hari.

Komposisi PK beragam, mengandung campuran garam inorganik, senyawa organik, air, dan lebih dari 1000 protein. Ditemukan juga albumin, imunoglobulin, komplemen, koagulasi, dan faktor antitrombotik. Yang menarik, plasma dari pendonor sehat menyediakan efek imunomodulator via infus sitokin anti-inflamatori dan antibodi yang memblokade komplemen, sitokin inflamatori, dan autoantibodi.

 

Daftar Pustaka:

Asai, A., Konno, M., Ozaki, M., Otsuka, C., Vecchione, A., Arai, T., Kitagawa, T., Ofusa, K., Yabumoto, M., Hirotsu, T., Taniguchi, M., Eguchi, H., Doki, Y., dan Ishii, H., 2020, COVID-19 Drug Discovery Using Intensive Approach, Int.J.Mol.Sci., 21, 2839

Chen, N., Zhou, M., Dong, X., Qu, J., Gong, F., Han, Y., Qiu, Y., Wang, J., Liu, Y., Wei, Y., Xia, J., Yu, T., Zhang, X., dan Zhang, L., 2020, Epidemiological and Clinical Characteristics of 99 Cases of 2019 Novel Coronavirus Pneumonia In Wuhan, China: A Descriptive Study, diakses https://www.thelancet.com/action/showPdf?pii=S0140-6736%2820%2930211-7 pada tanggal 6 Februari 2020

European Center for Disease Prevention and Control, 2020, Outbreak of Acute Respiratory Syndrome Associated with A Novel Coronavirus, China: First Local Transmission In The EU/EEA-3rd Update, ECDC 3rd Update

Gralinski, L., dan Menachery, V., 2020, Return of The Coronavirus: 2019-nCoV, Viruses, 12: 135

Holshue, M., DeBolt, C., Lindquist, S., Lofy, K., dkk., 2020, First Case of 2019 Novel Coronavirus In The United States, J.of.Med.

Kementerian Kesehatan RI, 2020, Pedoman Kesiapsiagaan Menghadapi Infeksi  Novel Coronavirus (2019-nCoV), Jakarta, Indonesia; hal. 31-42

Rojas, M., Rodriguez, Y., Monsalve, D.M., Ampudia, Y.A., Camacho, B., Gallo, J.E., Villarraga, A.R., Santana, C.R., Coronado, J.C., Manrique, R., Mantilla, R.D., Shoenfeld, Y., dan Anaya, J.M., 2020, Convalescent Plasma In COVID-19: Possible Mechanisms of Action, Autoimmunity Reviews, Elsevier

Wan, Y., Shang, J., Graham, R., Baric, R.S., dan Li, F., 2020, Receptor Recognition by Novel Coronavirus from Wuhan: An Analysis On Decade-Long Structural Studies of SARS, J.of.Virol; 10: 1128


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Anomali Gigi : Taurodonsia / Taurodontism

Anomali Gigi : Fusi

Anomali Gigi : Concrescence