Ilmu Penyakit Mulut: Kandidiasis Oral

ILMU PENYAKIT MULUT: KANDIDIASIS ORAL
Author: drg. Kevin Marsel

I. DEFINISI:
Candida merupakan terminologi untuk kelas fungi yang meliputi lebih dari 150 spesies jamur. Pada individu sehat, Candida ada dan tidak berbahaya dalam membran mukosa seperti di telinga, mata, saluran gastrointestinal, mulut, hidung, organ reproduksi, sinus, kulit, vagina, dsb. Ketika ada ketidakseimbangan normal flora terjadi, bisa menyebabkan pertumbuhan berlebih dari Candida albicans. Hal ini disebut Candidiasis atau Thrush.

II. ETIOLOGI:
Penyebab oral candidosis kebanyakan adalah Candida albicans, namun dapat juga disebabkan oleh C. tropicalis, C. krusei, C. parapsilosis, dan C. guilliermondi. Faktor predisposisi oral candidosis:
Tabel I. Faktor predisposisi candidiasis baik lokal maupun sistemik
Faktor Lokal
Faktor Sistemik
Gangguan mekanisme pertahanan lokal
Gangguan mekanisme pertahanan sistemik
Produksi saliva menurun
Defisiensi imun primer atau sekunder
Merokok
Medikasi imunosupresif
Mukosa oral atrofik
Kelainan endokrin: diabetes
Penyakit mukosa (oral lichen planus)
Malnutrisi
Medikasi topikal: kortikoid
Malignancies/keganasan
Penurunan suplai darah (radioterapi)
Kondisi kongenital
Kebersihan mulut rendah
Terapi antibiotik spektrum luas
Gigi palsu
Lanjut usia
Flora mulut yang berubah atau imatur

Pemakaian inhaler steroid

Diet gula yang tinggi


III. PATOGENESIS:
1. Faktor patogen
Jamur kandida mampu melakukan metabolisme glukosa dalam kondisi aerobik maupun anaerobik. Selain itu jamur kandida mempunyai faktor-faktor yang mempengaruhi adhesi terhadap dinding sel epitel seperti mannose, reseptor C3d, mannoprotein dan Saccharin. Sifat hidrofobik dari jamur dan juga kemampuan adhesi dengan fibronektin host juga berperan penting terhadap inisial dari infeksi ini.
Adhesi spesifik antara Candida dan reseptor host menghasilkan perlekatan kovalen yang kuat. Gen Candida ALS (agglutinin-like sequence) dan HWP (hyphal wall protein) mengkode dinding sel terkait glikoprotein menambah adhesi C. albicans terhadap permukaan epithel. Sebagai tambahan, interaksi spesifik Candida dengan bakteri oral menunjukkan dapat mendorong pembentukan biofilm pada gigi palsu dan plak gigi.
Candida memproduksi beberapa enzim ekstraselular yang merusak jaringan host, yaitu secreted aspartyl proteinases (SAPs) 1-10. SAPs aktif pada pH asam (pH 2-7). SAP 2 aktif ketika C. albicans dikultur di media yang mengandung protein sebagai satu-satunya sumber nitrogen. SAP 1 dan 3 aktif selama switching C. albicans. Switching dimaksudkan berubahnya fenotipe dari C. albicans, menyebabkan variasi warna, bentuk, dan translusensi. SAP 4-6 berperan dalam pembentukan hifa. Virulensi SAP yaitu merusak sel host secara langsung, memfasilitasi pertumbuhan hifa untuk invasi jaringan, menambah perlekatan dengan mempengaruhi sisi reseptor, dan mengurangi imunoglobulin dan pertahanan protein host lainnya.
Enzim hidrolitik lainnya adalah phospholipases (PLs) dan 7 gen pengkode, yaitu PLA, PLB1, PLB2, PLC1, PLC2, PLC3, dan PLD1. Enzim PLs efektif merusak membran sel host sehingga sel lisis dan mati.
Peran produksi lipase ekstraselular dan esterase belum dipahami secara jelas. Total ada 10 lipase (LIP 1-10) yang ada pada Candida. Lipase diketahui menghambat efek sitotoksik pada sel host.
Hemolisin merupakan substansi yang melisiskan sel darah merah dan diketahui diproduksi Candida sebagai komponen penting pertahanan hidup dengan mengambil zat besi. Penelitian Luo et al. menunjukkan hemolisis α dan β pada isolat candida dan menunjukkan korelasi positif antara konsentrasi glukosa dengan candidiasis pada penderita diabetes yang tidak terkontrol.
2. Faktor Host:
a. Faktor lokal
Pencegahan infeksi mukosa dimediasi utamanya oleh sistem imun bawaan. Neutrofil dan makrofage merupakan kunci fagositosis dan membunuh Candida. Candida dikenali oleh reseptor, yang berinteraksi pada molekul spesifik pada permukaan Candida. Setelah pengenalan (recognition), sel ini melepas sitokin dan kemokin untuk memodulasi sistem imun lebih lanjut. Sel dendritik (SD) sebagai antigen presenting cell berinteraksi dengan Candida, teraktivasi dan terjadi fagositosis. Selanjutnya, SD bermigrasi ke kelenjar getah bening dimana antigen Candida diproses dan dipresentasikan kepada CD4+ T-cell. Interaksi SD dan T-cell menyebabkan diferensiasi menjadi sel T dewasa (contohnya T-helper 1, 2, 17, dan regulatory T-cells). Th1 sebagai pelindung, Th2 merespon terkait infeksi, dan Th17 melindungi permukaan mukosa.
1). Saliva
Disfungsi glandula saliva faktor predisposisi candidiasis oral. Kandungan saliva seperti histidin rich polypeptides, laktoferin, lisozim, dan sialoperoksidase menghambat pertumbuhan candida. Saat produksi saliva menurun maka resiko terjadinya oral candidiasis meningkat.
2). Gigi palsu
Penggunaan gigi palsu merupakan faktor predisposisi infeksi kandidiasis oral. Penggunaan ini menyebabkan terbentuknya lingkungan mikro yang memudahkan berkembangnya jamur kandida dalam keadaan PH rendah, oksigen rendah, dan lingkungan anaerobik. Penggunaan ini pula meningkatkan kemampuan adhesi dari jamur ini. Candida melekat pada material polimethilmetakrilat dari gigi palsu dan memanfaatkan retakan mikro diantara material untuk retensi. Biofilm pada permukaan gigi palsu ditingkatkan dengan rendahnya kebersihan mulut dan retensi gigi palsu dalam mulut saat tidur.
3). Medikasi topikal/inhalasi
Pemakaian inhalasi kortikosteroid atau obat kumur yang berlebihan menjadi faktor predisposisi oral candidiasis karena menekan imun lokal sementara dan menyebabkan perubahan pada flora oral.
4). Merokok
Perubahan epithel lokal karena merokok, produk nutrisi dari enzim yang memecah hidrokarbon aromatik yang terkandung dalam rokok, supresi imunitas lokal dan mengurangi eksudat gingiva, kenaikan hemoglobin glikosilat, dan menaikkan kadar adrenalin dalam darah yang secara tidak langsung mempengaruhi kadar gula darah.
5). Diet
Diet yang tidak seimbang dari gula, karbohidrat, dan makanan tinggi laktosa dapat menurunkan pH oral sehingga tercipta lingkungan yang disukai candida.
b. Faktor sistemik:
1). Usia
Usia lanjut menjadi predisposisi karena imunitas yang melemah.
2). Status nutrisi
Yang paling berhubungan adalah defisiensi zat besi, menyebabkan penurunan efek fungistatik dari transferin dan enzim iron dependant lainnya. Nutrisi lain penyebab candidiasis kronis meliputi asam lemak esensial, asam folat, vitamin A dan B6, magnesium, selenium, dan seng.
3). Obat-obatan sistemik
Penggunaan jangka panjang seperti antibiotik spektrum luas, imunosupresan, dan obat dengan efek samping xerostomia, dapat merubah flora normal oral atau mengganggu permukaan mukosa atau mengurangi produksi saliva, menciptakan lingkungan yang disenangi candida untuk tumbuh. Peningkatan candida juga dilaporkan pada pasien menjalani terapi radiasi regio kepala dan leher.
4). Kelainan endokrin
Beberapa laporan menyebutkan candidiasis lebih sering terjadi pada pasien dengan disfungsi endokrin seperti diabetes dan sindrom Cushing.
5). Kelainan imun
Kondisi imunodefisiensi seperti AIDS dan severe combined immunodeficiency syndrome (SCID) juga merupakan predisposisi candidiasis.
6). Malignansi
Prevalensi oral candidiasis pada pasien kanker yang menjalani perawatan adalah pra-perawatan 7,5%, selama perawatan 39,1%, dan paska perawatan 32,6%, pada pasien dengan radiasi kepala dan leher adalah 37,4-38%. Kolonisasi oleh C. albicans 46,2%, sementara untuk NCAC yaitu C. tropicalis (16,6%), C. glabrata (5,5%) dan C. krusei (3%).
7). Kongenital
Misalnya pada sindrom Di George, defisiensi mieloperoxidase herediter, dan sindrom Chediak-Higashi.

IV. EPIDEMIOLOGI:
1. Frekuensi: umum pada kelompok tinggi resiko, seperti pasien imunokompromis. Insidensi infeksi meningkat karena adanya infeksi HIV dan spesies kandida yang resisten terhadap antifungal.
2. Seks: seimbang pada laki-laki dan perempuan, kecuali di daerah di mana laki-laki dengan infeksi HIV lebih banyak daripada perempuan.
3. Umur: biasanya pada lanjut usia, biasanya pada dekade ketiga dan keempat kehidupan.
4. Mortalitas: candidiasis yang menyebar hingga esofagus bisa mengancam nyawa. Candidiasis sistemik lebih jarang, namun tingkat kematian mencapai 71-79%. Insidensi infeksi pada aliran darah karena candida berkisar antara 6-23 per 100.000 dan 2,53-11 per 100.000 individu di USA dan negara-negara Eropa.
Angka kejadian NCAC (Non C. albicans Candidiasis) yang menginfeksi aliran darah juga dilaporkan meningkat 10-11% selama 6,5 tahun belakangan, meliputi C. parapsilosis (neonatus prematur dan patien kateter), C. glabrata (pasien lanjut usia), C. tropicalis (malignansi hematologi), dan C. krusei.
Tabel II. Kandungan C. albicans pada masing-masing subjek
Subjek
Kandungan C. albicans dalam Mulut
Neonatus
45%
Anak sehat
45-65%
Dewasa sehat
30-45%
Pemakai gigi palsu lepasan
50-65%
Leukemia akut yang menjalani kemoterapi
90%
Pasien HIV
95%

V. TANDA DAN GEJALA KLINIS:
Candidiasis dapat diklasifikasikan seperti berikut:
Tabel III. Klasifikasi Candidiasis
Candidiasis Oral Primer
Candidiasis Oral Sekunder
Akut
Manifestasi Oral terkait Candidiasis Mukokutan Sistemik
1. Pseudomembran
1. Thymic aplasia
2. Eritematus
2. Sindrom kandidiasis endokrinopati
Kronis

1. Hiperplastik (nodular atau plaq like)

2. Eritematus

3. Pseudomembran

Candida-associated lesions

1. Denture stomatitis

2. Angular cheilitis

3. Median rhomboid glossitis

Lesi primer berkeratin dengan candida super infection

1. Leukoplakia

2. Lichen planus

3. Lupus erythematosus


1. Candidiasis pseudomembran/thrush
Biasanya bersifat akut, namun dapat juga kronis. Biasa ditemukan pada pasien lanjut usia, pasien imunokompromis seperti AIDS, diabetes, pemakai kortikosteroid, terapi antibiotik spektrum luas jangka panjang, penyakit darah dan keganasan lainnya. Bentuk lesinya berupa plak putih atau putih kekuningan multipel yang menyerupai buih susu atau keju. Plak ini mengandung sel epithel deskuamasi, hifa jamur, fibrin, dan material nekrotik. Membran superfisial bisa hilang dengan diusap dan meninggalkan area eritem dan kadang berdarah. Daerah predileksi pada mukosa labial dan bukal, lidah, palatum durum dan mole, dan orofaring. Keterlibatan mukosa oral dan esofagus sering pada pasien AIDS. Gejala biasanya ringan, keluhan hanya sedikit kesemutan atau rasa busuk, sedangkan, bentuk kronis melibatkan mukosa esofagus yang menyebabkan disfagia dan nyeri dada. Differential diagnosis berupa white coated tongue, thermal and chemical burn, lichenoid reaction, leukoplakia, sifilis sekunder, dan difteria.


Gambar 1. Candidiasis Pseudomembran pada dorsum lidah dan di mukosa bukal

2. Candidiasis eritematus
Jarang ditemukan dan bisa bersifat akut maupun kronis. Biasanya dikenal dengan antibiotic sore mouth karena terkait penggunaan antibiotik spektrum luas jangka panjang. Tipe ini satu-satunya candidiasis yang terasa nyeri/menyakitkan. Bentuk kronis biasanya terlihat pada pasien HIV di dorsum lidah, palatum, dan kadang mukosa bukal. Tampakan klinis berupa daerah eritema dengan sedikit perdarahan di daerah sekitar dasar lesi. Tipe-tipenya yaitu:
a. Tipe 1: inflamasi sederhana terlokalisir atau pinpoint hiperemia.
b. Tipe 2: eritematosa atau eritema lebih tersebar meliputi sebagian atau seluruh mukosa yang tertutup gigi tiruan.
c. Tipe 3: granular (inflamasi papila hiperplasia) umumnya meliputi bagian tengah palatum durum dan alveolar ridge.
Differential diagnosis meliputi mukositis, denture stomatitis, erythema migrans, thermal burns, eritroplakia, dan anemia.
 Gambar 2. Candidiasis eritematus pada palatum

3. Candidiasis hiperplastik
Bersifat kronis. Dijuluki juga candidal leukoplakia. Tampakan klinis bisa berupa plak putih homogen atau eritematus multipel nodular/rintik. Tidak bisa diusap. Biasanya terdapat di bilateral regio komisura mukosa bukal dan lebih jarang pada batas lateral lidah, dan palatum. Timbul karena merokok dan displasia. Presentase kecil kasus timbul karena defisiensi zat besi dan folat. Differential diagnosisnya yaitu leukoplakia, lichen planus, angular cheilitis, dan squamous cell carcinoma.
 Gambar 3. Candidiasis hiperplastik di tepi lidah

Lesi Terkait Candida:
1. Denture stomatitis
Disebut juga candidiasis atrofik kronis, merupakan inflamasi mukosa kronis terkait area pemakaian gigi palsu. Biasanya terlihat pada 50-65% pemakai gigi palsu. Tampakan klinisnya berupa daerah hiperemi, eritematus difus atau granular atau papiler. Biasanya terjadi bersamaan dengan angular cheilitis dan median rhomboid glossitis. Lesi biasanya asimptomatik, namun ada yang mengeluhkan rasa terbakar atau sakit. Daerah predileksi di palatum dan mukosa mandibular. Etiologi terkait buruknya kebersihan mulut, pemakaian gigi palsu tanpa dilepas dan dibersihkan, protesa yang tidak pas, dan aliran saliva yang terbatas.
 Gambar 4. Denture stomatitis pada palatum

2. Angular cheilitis
Tampakan klinis berupa eritematus atau fisure ulserasi pada unilateral/bilateral komisura bibir. Faktor penyebabnya karena lanjut usia dan pemakaian gigi palsu (karena kehilangan dimensi vertikal muncul lipatan/kerutan, saliva menggenang sehingga lembab menjadi lokasi predileksi), defisiensi vitamin B12, dan anemia defisiensi zat besi. Organisme lain yang dapat terlibat yaitu Staphylococcus dan Streptococcus.
 Gambar 5. Angular cheilitis

3. Median rhomboid glossitis
Tampakan klinis berupa atrofi papiler sentral lidah dan letaknya pada midline dorsum lidah, berbatas tegas, simetris, berjalan dari ujung lidah sampai papila sirkumvalata. Permukaan lesi bisa halus atau berlobus. Kebanyakan tidak bergejala, tapi ada juga yang menimbulkan nyeri persisten, iritasi, atau pruritus. Biasanya terlihat pada perokok tembakau dan pemakai inhaler steroid.
 Gambar 6. Median rhomboid glossitis

4. Linear gingival erythema
Disebut juga gingivitis HIV karena tipikal muncul pada penyakit periodontal terkait HIV. Tampakan klinis berupa pita linear eritematus, terletak 2-3 mm gingiva marginal bersama dengan pteki atau lesi eritematus difus pada gingiva cekat. Lesi bisa berdarah. Selain C. albicans, C. dubliniensis juga ditemukan dalam lesi.
 Gambar 7. Linear gingival erythema

Candidiasis Oral Sekunder:
Ditandai dengan candidiasis mukokutan kronis, terdiri dari gangguan heterogen, muncul sebagai infeksi candida superfisial yang persisten atau berulang pada mulut, kulit, kuku, dan kadang menghasilkan massa granulomatosa di wajah dan kulit kepala. Tampakan klinis primer meliputi candidiasis oral kronis, kutan, dan vulvovaginal. Lesi bisa meluas ke laring, faring, atau esofagus. Lesi sekunder berhubungan dengan kelainan imunodefisiensi, sindrom Di George, sindrom hiperimunoglobulin E, sindrom Nezelof defisiensi MPO, sindrom SCID, dan gangguan endokrin seperti Addison disease dan hipoparatiroid.

VI. DIAGNOSIS DAN PEMERIKSAAN
Candidiasis didiagnosis berdasarkan tanda-tanda klinis dan gejalanya. Adapun tes laboratorium yang dapat dilakukan:
1. Pengumpulan spesimen:
Spesimen dikumpulkan harus dari lesi aktif. Ambil spesimen dalam kondisi aseptik dan secukupnya. Gunakan alat dan kontainer steril. Berikan label pada spesimen segera. Semua spesimen klinis harus disadari merupakan biohazard dan harus ditangani dengan prekausion universal. Spesimen harus disimpan dalam keadaan lembab atau disimpan dalam kulkas bersuhu 4o C.
a. Smear: apusan diambil dengan spatula kayu  dari mukosa mulut yang terinfeksi dan fitting surface gigi tiruan. Apusan difikskan dengan eter/alkohol 1:1 atau dengan spray fiks. Preparat kering diperiksa dengan metode stain Gram dan metode periodic acid Schiff (PAS).
b. Swab: ditaburkan pada agar Saboraud (25oC atau suhu ruang), agar darah (35oC), medium Pagano-Levin (35oC), atau substrat Littmann (25oC). Inkubasi pada suhu 25oC.
c. Biopsi: harus ditambahkan untuk pemeriksaan histopatologik untuk suspek candidiasis hiperplastik kronis.
d. Teknik kultur imprin: busa plastik steril, kotak (ukuran 2,2 x 2,5 cm) dibenamkan di air pepton dan diletakkan di tempat tersendiri untuk studi 30-60 detik. Setelah itu, busa diletakkan langsung di agar Pagano-Levin atau Saboraud, biarkan 8 jam lalu 48 jam diinkubasi pada suhu 37oC. Densitas candida dilihat pada penghitung koloni Gallenkamp sebagai colony forming units per mm2 (CFU mm-2). Metode ini berguna untuk perhitungan kuantitatif pertumbuhan jamur pada area berbeda pada mukosa oral dan berguna melokalisasi area infeksi dan mengestimasi candida pada area tertentu.
e. Teknik kultur impresi: cetak maksila dan mandibula dengan alginat, kirim ke lab dan tuang dengan agar 6% diperkaya dengan kaldu Saboraud dextrose. Agar diinkubasi selama 48-72 jam suhu 37oC dan diestimasi CFU.
f. Saliva: meminta pasien meludah 2 ml tanpa distimulasi ke kontainer universal steril, divibrasi 30 detik untuk disagregasi optimal. Jumlah candida dihitung CFU/ml saliva di agar Saboraud menggunakan spiral atau teknik perhitungan permukaan Miles dan Misra. Pasien dengan ciri klinis candidiasis oral biasanya memiliki lebih dari 400 CFU/ml.
g. Paper point: point steril absorbable dimasukkan ke dalam poket dan dibiarkan selama 10 detik, masukkan dalam media botol kecil berisi 2 ml Moller’s VMGA III.
h. Perlengkapan identifikasi komersial: sistem mikrostik-candida (MC) berisi strip plastik untuk area kultur kering (10 mm x 10 mm) modifikasi media Nickerson dan kantong plastik untuk inkubasi. Sistem O Yeast-I dent berdasarkan pemakaian substansi kromogenik untuk mengukur aktivitas enzim. Teknik Ricult-N dip slide sama, tapi sensitivitas lebih tinggi daripada sistem MC.
2. Identifikasi histologi: hasil biopsi diberikan stain yang sesuai. Pewarna hematoksilin dan eosin tidak bisa mewarnai spesies Candida. Stain spesifik candida yaitu PAS, Grocott-Gomori’s methenamine silver (GMS) dan Gridley stain biasa digunakan untuk mewarnai candida.
3. Tes fisiologi
Dengan menentukan kemampuan mereka dalam asimilasi dan fermentasi sumber karbon dan nitrogen.
Tabel IV. Reaksi asimilasi spesies Candida

Tabel V. Reaksi fermentasi spesies Candida


4. Tes fenotipe:
a. Serotyping: terbatas hanya 2 serotipe (A dan B), tidak kuat untuk alat epidemiologi. Menunjukkan diskrepansi yang luas pada hasil.
b. Resistogram typing: banyak salah pada ukuran inokulum, interpretasi, dan kemampuan reproduksi.
c. Yeast ‘Killer Toxin’ typing: awalnya memakai 9 strain pembunuh, mengembangkan kode triplet untuk membedakan antara 100 strain C. albicans dan menemukan 25 killer sensitive strain. Metode ini diperluas dengan 30 killer strain dan 3 agen antijamur.
d.  Morfotyping: digunakan untuk mempelajari morfotipe dari 446 strain C. albicans yang diisolasi dari beberapa spesimen klinis.
e. Biotyping: dikenalkan Williamson (1987), terdiri dari 3 tes, yaitu sistem APIZYM, sistem API 20C, dan tes plate untuk resistensi asam borat. Metode ini membedakan kemungkinan 234 biotipe, 33 diantaranya ditemukan diantara 1430 isolat C. albicans yang diambil dari oral, genital, dan kulit.
f. Protein typing: metode ini digunakan untuk memisahkan C. albicans pada tingkat subspesies.
5. Metode genetik: metode mula-mula ada kariotyping, restriction endonuclease analysis (REA), dan restriction fragment length polymorphism (RFLP). Kemudian berkembang ada metode arbitrarily primed polymerase chain reaction (AP-PCR).
6. Tes serologi: untuk candidiasis invasif
a. Deteksi antibodi
b. Slide agglutination
c. Imunodifusi
d. Fitohemaglutinasi
e. Koelektosinersis
f. Imunopresipitasi
g. Imunofluoresen A dan B
h. Antigen candida nonspesifik
i. Aglutinasi latex
j. Imunoblotting
k. Komponen dinding sel
l. Manoprotein dinding sel (CWMP)
m. b-(1,3)-D-glucan
n. Tes antigen candida enolase

VII. PERAWATAN:
1. Penegakan diagnosis dari riwayat medis dan dental, manifestasi klinis yang dibuktikan oleh tes laboratorium
2. Koreksi faktor predisposisi
3. Jaga kebersihan mulut dan gigi palsu
4. Pemilihan terapi antifungal berdasarkan keparahan infeksi dan kerentanan spesies Candida.
Tabel VI. Tabel sensitivitas antifungal pada spesies candida

5. Agen antifungal
Terbagi menjadi 3 kategori: polien (nistatin dan amfoterisin B), inhibitor biosintesis ergosterol-azole (mikonazole, klotrimazole, ketokonazole, itrakonazole, dan flukonazole), allylaminethiocarbamates, dan morfolin; dan fluorositosin-DNA analog 5, dan agen terbaru seperti kaspofungin. Pemilihan antifungal tergantung sifat lesi dan status imun pasien. Ada 3 target antifungal, yaitu membran sel, dinding sel, dan asam nukleat.
 Gambar 8. Tabel target antifungal

a. Antifungal topikal
Biasanya menjadi pilihan untuk candidiasis lokal, uncomplicated pada pasien dengan imun normal. Polien merupakan fungisidal yang bekerja langsung mengikat ergosterol diantara membran sel fungal, merobek isi sitoplasma sehingga sel fungi mati. Solusi nistatin atau amfoterisin B digunakan selama 4 minggu. Pada kasus rekuren maka durasi kurang lebih 4-6 minggu.
Topikal gel mikonazole juga cocok untuk merawat infeksi yang sederhana pada pasien imun normal. Gel menghambat aksi sintesis ergosterol fungi; berinteraksi dengan sitokrom enzim P450 14-alfa demetilase, menghambat pertumbuhan jamur patogen dengan mengubah permeabilitas membran sel. Penggunaan mikonazole berulang memiliki resiko adanya resisten terhadap azole.
b. Antifungal sistemik
Indikasi untuk kasus infeksi luas atau pada pasien imunokompromis. Azole adalah fungistatik yang menghambat enzim lanosterol demethylase yang akan mensintesis ergosterol. Dari segala azoles, flukonazole tertinggi konsentrasi di saliva, sehingga cocok untuk infeksi oral.
Antifungal lain, echinocandin dan flucytosine menghambat sintase D-glukan dan sintesis protein/DNA. Posaconazole hanya tersedia dalam solusi oral dam digunakan pada pasien imunokompromis dan resisten terhadap obat lainnya. Salah satu resiko flukonazole dan obat azole lain adalah terbentuknya strain resisten.
Tabel VII. Tabel perawatan candidiasis orofaring

VIII. PENCEGAHAN ORAL CANDIDIASIS:
1. Menjaga kebersihan gigi dan mulut.
2. Pemakaian obat kumur antifungal dan antibakterial, misalnya klorheksidin diglukonat dan cetylpyridinium, yang banyak digunakan sebagai profilaksis pasien kemo dan radioterapi induced mukositis.
3. Pemakai inhaler kortikosteroid bisa mencuci mulut dengan air atau obat kumur setelah memakai inhaler.
4. Pemakai gigi palsu untuk melepas gigi palsu pada malam hari dan merendam dalam larutan klorheksidin 0,2% atau 15-30 menit dalam vinegar (pengenceran 1:20) atau larutan hipoklorit 0,1%.
5. Menghilangkan faktor predisposisi.

DAFTAR PUSTAKA:
Ashman, R.B., dan Farah, C.S., 2005, Oral Candidiasis: Clinical Manifestasions and Cellular Adaptive Host Responses, In Fungal Immunology, eds P.L. Fidel dan G.B. Huffnagle, New York, Springer, p.59-83
Hakim, L., dan Ramadhian, R., 2015, Kandidiasis Oral, Majority, 4(9):53-57
Lalla, R.V., Patton, L.L., dan Bagtzoglou, D.A., 2013, Oral Candidiasis: Pathogenesis, Clinical Presentation, Diagnosis, and Treatment Strategies, J.Calif.Dent.Assoc; 41: 263-268
Luo, G., Samaranayake, L.P., dan Yau, J.Y., 2001, Candida Species Exhibit Differential In Vitro Hemolytic Activities, J.Clin.Microbiol; 39:2971-4
Martins, N., Ferreira, I.C., Barros, L., Silva, S., dan Henriques, M., 2014, Candidiasis: Predisposing Factors, Prevention, Diagnosis, and Alternative Treatment, Mycopathologia, 177: 223-240, doi: 10.1007/s11046-014-9749-1
Patil, S., Rao, R.S., Majumdar, B., dan Anil, S., 2015, Clinical Appearance of Oral Candida Infection and Therapeutic Strategies, Front.Microbiol., doi:  https://doi.org/10.3389/fmicb.2015.01391
Rathod, P., Punga, R., Dalal, V., dan Rathod, D., 2015, Oral Candidiasis - Widely Prevalent , Frequently Missed, Int.J.of Sci.Study; 3(6): 193-198, doi: 10.17354/ijss/2015/421
Sashikumar, R., dan Kannan, R., 2010, Salivary Glucose Levels and Oral Candidal Carriage In Type II Diabetics, Oral Surg. Oral Med. Oral Pathol. Oral Radiol. Endod; 109: 706-711, doi: 10.1016/j.tripleo.2009.12.042
Singh, A., Verma, R., Murari, A., dan Agrawal, A., 2014, Oral Candidiasis: An Overview, J.Oral.Maxillofac.Pathol; 18(1): 81-85, doi: 10.4103/0973-029X.141325

Williams, D., dan Lewis, M., 2011, Pathogenesis and Treatment of Oral Candidosis, J.Oral.Microbiol; 3(10), doi:  10.3402/jom.v3i0.5771

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Anomali Gigi : Taurodonsia / Taurodontism

Anomali Gigi : Fusi

Anomali Gigi : Concrescence