Diabetes Mellitus: Diagnosis, Patogenesis, Tanda, Gejala, dan Hubungannya dengan Dental

 Author: drg. Kevin Marsel

“Mengakar kuat, menjulang tinggi”

 

I. DEFINISI

Merupakan penyakit metabolik ditandai dengan hiperglikemik kronis yang disebabkan defek sekresi insulin, aksi insulin, maupun keduanya.

 

II. ETIOLOGI

Tabel I. Klasifikasi Diabetes Mellitus berdasarkan patofisiologi

Tipe

Etiologi

Type 1 DM

Kerusakan autoimun sel beta dalam pankreas, menyebabkan defisiensi insulin absolut.

Type 2 DM

 

 

Resisten insulin konstitusional dengan defisiensi insulin relatif.

Gestational DM  

 

Sekunder terhadap resisten insulin (berhubungan dengan hormon plasental) dan defisiensi insulin relatif selama periode tengah kedua kehamilan.

Monogenic DM

 

Sangat langka. Defek gen spesifik dalam fungsi sel beta, contohnya MODY 1, MODY 2.

Defek genetik dalam aksi insulin, contohnya resisten insulin tipe A

Penyakit Eksokrin Pankreas

 

 

Biasanya dikaitkan dengan disfungsi eksokrin pankreas.

Pankreatitis/neoplasma pankreatik

Pankreatektomi/trauma

Fibrosis cystic, hemokromatosis

Neoplasia

Fibrosis sistik

Hemokromatosis

Fibrocalculous pankreatopati

Lainnya

Endokrinopati

 

Disebabkan sekresi berlebih hormon yang melawan insulin, menyebabkan defisiensi insulin relatif.

Hipertiroid

Sindrom Cushing

Akromegali

Pheokromositoma

Glukagonoma

Somatostatinoma

Aldosteronoma

Lainnya

DM diinduksi obat atau zat kimia

 

Dengan aksi yang bervariasi, beberapa kimia dan obat meningkatkan kerentanan DM.

Glukokotikoid

Asam nikotin (niacin)

Diuretik thiazide

Diazoxide

Agonis β-adrenergik

Vacor

Pentamidin

Hormon tiroid

Dilantin

-interferon

Lainnya

Infeksi

 

Cytomegalovirus

Rubella

Infeksi enterovirus

Rotavirus

Virus herpes

Endogenus retrovirus

Virus Ljungan 

Berhubungan dengan sindrom genetik lainnya

 

Sindrom Down

Sindrom Klinefelter

Sindrom Turner

Sindrom Wolfram

Ataksia Friedreich

Chorea Huntington

Sindrom Laurence-Moon-Biedl

Distrofi myotonik

Porphyria

Sindrom Prader-Willi

Lainnya

DM dimediasi karena keadaan imun langka

Sindrom Stiff man

Antibodi reseptor anti-insulin

Defek genetik fungsi sel β

Kromosom HNF-1α (MODY 3)

Kromosom 7, glukokinase (MODY 2)

Kromosom 20, HNF-4 (MODY 1)

Kromosom 13, insulin promoter faktor-1 (IPF-1; MODY 4)

Kromosom 17, HNF-1 (MODY 5)

Kromosom 2, NeuroD1 (MODY 6)

DNA mitokondrial

Lainnya

Defek genetik aksi insulin

Resisten insulin tipe A

Leprechaunism

Sindrom Rabson-Mendenhall

Diabetes lipoatrofik

Lainnya

 

III. EPIDEMIOLOGI

Diabetes Mellitus Tipe 1

Diabetes Mellitus Autoimun Tipe 1

Tipe diabetes ini menyumbangkan 5-10% jumlah orang yang terdiagnosa diabetes. Jumlahnya berkisar 80-90% pada anak-anak dan remaja. Berdasarkan data International Diabetes Federation (IDF), jumlah remaja (0-14 tahun) terdiagnosa tipe 1 diabetes di seluruh dunia pada tahun 2013 berjumlah 497.100 orang dan jumlah kasus baru per tahun 78.900. Data ini tidak cukup menggambarkan total kasus karena prevalensi kasus pada remaja dan orang dewasa di atas 14 tahun juga tinggi. Laporan jumlah pasien tipe 1 diabetes di Amerika Serikat pada tahun 2010 berjumlah 3 juta. Jumlah kasus anak muda kurang dari 20 tahun 166.984 pada tahun 2009 (1,93 orang per 1.000 tahun 2009) dengan kenaikan relatif 2,6%-2,7%.

Kenaikan kasus rata-rata 2,8-3% per tahun di seluruh dunia dan 3,9% per tahun di Eropa. Insidensi diabetes tipe 1 juga dipengaruhi musim, dengan tertinggi pada musim gugur dan dingin

Insidensi antar negara berkisar 37,8 di Sardinia; 40,9 per 100.000/tahun di Finlandia. Secara keseluruhan, negara-negara Eropa dan Amerika Utara memiliki insidensi sedang sampai tinggi. Insidensi di Afrika sedang secara keseluruhan dan rendah di Asia, kecuali di Kuwait.

Gambar 1. Insidensi diabetes tipe 1

 

Diabetes Tipe 1 Idiopatik

Kurang parah dibandingkan diabetes tipe 1 autoimun dan penyebabnya tidak diketahui. Kebanyakan pasien merupakan orang Afrika dan Asia, defisiensi insulin bervariasi, dan ketoacidosis episodik.

 

Diabetes Tipe 1 Fulminant

Pertama kali terjadi di negara Asia Timur dan terjadi pada 20% kasus pasien diabetes tipe 1 dengan onset akut di Jepang (5.000-7.000). Terjadi sangat cepat dan hampir terjadi kehancuran pada seluruh sel β dengan tidak adanya residu sekresi insulin.

 

Diabetes Mellitus Tipe 2

Prevalensi global pasien diabetes dewasa (usia 20-79) berdasarkan laporan yang dipublikasi tahun 2013 oleh IDF berjumlah 382 juta orang (8,3%), dengan 14 juta kasus lebih banyak pada laki-laki dibandingkan perempuan (198 juta laki-laki berbanding 184 juta perempuan), mayoritas pada usia 40 dan 59 tahun dengan prediksi kenaikan melebihi 592 juta jiwa pada tahun 2035 dengan prevalensi global mencapai 10,1%.

Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013, terjadi peningkatan dari 1,1% (2007) menjadi 2,1% (2013). Proporsi penduduk  15 tahun dengan diabetes mellitus (DM) adalah 6,9%. WHO memprediksi kenaikan jumlah penyandang DM tipe 2 di Indonesia dari 8,4 juta pada tahun 2000 menjadi sekitar 21,3 juta pada tahun 2030.

Dengan perkiraan 175 juta kasus masih belum terdiagnosa, jumlah penderita DM melebihi 500 juta jiwa. Sebagai tambahan 21 juta perempuan terdiagnosa hiperglikemi selama kehamilan. Timur Tengah dan Afrika Utara menjadi regio dengan prevalensi diabetes tertinggi (10,9%), sementara itu regio Pasifik Barat memiliki prevalensi diabet pasien dewasa tertinggi (138,2 juta). Kebanyakan kasus terdapat pada negara berkembang dan miskin dengan 80% kasus.

Lebih dari 90-95% pasien diabetes tergolong tipe 2 dan kebanyakan adalah orang dewasa. Jumlah pasien usia muda (di bawah 20 tahun) DM tipe 2 di US pada tahun 2009 adalah 0,46 per 1.000 orang. Insidensi DM tipe 2 pada anak muda bertambah karena perubahan gaya hidup menetap dan kurangnya makanan sehat. Obesitas adalah alasan utama penyebab resisten insulin. ADA merekomendasikan pemeriksaan anak-anak dan remaja dengan berat badan berlebih untuk mendeteksi DM tipe 2. Prevalensi obesitas pada anak-anak meningkat (30,3% naik keseluruhan antara tahun 2001-2009).

 

Prediabetes

Jumlah orang dengan toleransi gula terganggu menurut data IDF berjumlah 316 juta orang pada tahun 2013 (prevalensi global 6,9% pada orang dewasa) dan diperkirakan naik hingga 471 juta orang pada tahun 2030. Menurut laporan Center for Disease Control and Prevention (CDC), 86 juta orang Amerika (1 dari 3) memiliki prediabetes. Empat negara dengan prevalensi prediabetes tertinggi yaitu Timur Tengah (Kuwait, Qatar, UAE, dan Bahrain) dengan prevalensi 17,9%; 17,1%; 16,6%; dan 16,3%.

 

IV. PATHOGENESIS

Diabetes Mellitus Tipe 1

Diabetes Tipe 1 Autoimun

Tipe DM ini terjadi karena kehancuran sel β pankreas. Utamanya terjadi karena autoimun merusak sel β pankreas melalui respon inflamatori sel T (insulitis), begitu juga melalui respon humoral (sel B). Adanya autoantibodi melawan sel islet pankreas merupakan tanda diabetes tipe 1, walaupun peran antibodi ini dalam patogenesis penyakit belum jelas. Autoantibodi ini meliputi autoantibodi sel islet, autoantibodi terhadap insulin (insulin autoantibody/IAA), glutamic acid decarboxylase (GAD, GAD65), protein tirosin fosfatase (IA2 dan IA2β), dan zinc transporter protein (ZnT8A). Autoantibodi pankreas tersebut merupakan karakteristik diabetes tipe 1 dan bisa dideteksi dalam serum pasien bulan atau tahun sebelum onset penyakit. Penyakit ini memiliki hubungan erat dengan HLA, dengan tautan ke gen DR dan DQ. Alel HLA-DR/DQ dapat menjadi predisposisi atau pelindung.  Penyakit ini ditandai dengan absennya sekresi insulin dan dominan pada anak-anak dan remaja.

Beberapa faktor lingkungan juga berperan penting menjadi penyebab. Faktor virus meliputi rubella kongenital, infeksi viral dengan enterovirus, rotavirus, virus herpes, cytomegalovirus, endogenus retrovirus, dan virus Ljungan. Faktor lainnya meliputi vitamin D yang kurang, paparan prenatal dari polutan, higien dan kondisi tempat tinggal yang semakin baik mengurangi infeksi waktu kecil di negara dengan sosioekonomi baik menimbulkan penyakit autoimun meningkat (hipotesis higien), nutrisi batita yang terlalu cepat misalnya memakai susu sapi formula dibandingkan ASI menimbulkan resisten insulin pada masa anak-anak karena obesitas. Bukti terbaru mendukung efek kausatif dari infeksi viral terhadap diabetes

 

Diabetes Tipe 1 Idiopatik

Bentuk langka dari DM tipe 1 dan tidak diketahui penyebabnya (idiopatik), kurang parah dibandingkan DM tipe 1, tidak disebabkan autoimun.

 

Diabetes Fulminan Tipe 1

Baik faktor genetik dan lingkungan, khususnya infeksi virus, berimplikasi pada penyakit. Respon imun anti viral bisa merangsang kehancuran sel β pankreas melalui reaksi percepatan imun dengan tidak adanya autoantibodi terdeteksi melawan sel β pankreas. Hubungan dengan kehamilan juga dilaporkan.

 

Diabetes Tipe II

Resisten insulin pada pasien diabetes tipe 2 meningkatkan kebutuhan insulin pada jaringan insulin-target tidak bisa dipenuhi sel β pankreas dikarenakan defek pada fungsi sel tersebut. Pada saat bersamaan, sekresi insulin berkurang dengan kebutuhan akan insulin meningkat seiring waktu karena kehancuran sel β bisa mengubah pasien DM tipe 2 dari independen menjadi dependen insulin. Kebanyakan pasien tipe 2 tidak bergantung insulin. Ketergantungan insulin merupakan salah satu perbedaan utama dengan tipe 1 DM. Perbedaan lain meliputi absennya ketoasidosis pada kebanyakan pasien DM tipe 2 dan kerusakan autoimun sel β tidak terjadi. Baik tipe 1 dan 2 memiliki predisposisi genetik, walaupun efeknya lebih kuat pada tipe 2 tapi gen lebih berkarakteristik pada tipe 1 (gen TCF7L2 lebih erat kaitannya dengan DM tipe 2).

 

Resisten Insulin dan Sinyal

Defek pada substrat protein dependen insulin IRS-1 dan IRS-2 yang memediasi jalur sinyal berimplikasi pada berkembangnya kelainan metabolik, utamanya diabetes. Jalur ini memediasi respon seluler terhadap insulin dan melibatkan susunan besar protein kinase distimulasi insulin, meliputi serine/threonine kinase AKT dan protein kinase C (PKC) yang menfosforilasi sejumlah besar residu Ser/Thr dalam insulin receptor substrate (IRS) yang terlibat dalam respon metabolik terhadap insulin. Kinase dependen non-insulin lain, meliputi protein kinase diaktivasi AMP, c-Jun N-terminal protein kinase, dan G protein-coupled receptor kinase 2 yang diaktivasi di bawah kondisi tertentu bisa menfosforilasi 2 substrat responsif insulin. Gangguan pada AKT dan PKC kinase merupakan hal terpenting penyebab berkembangnya diabetes dan berhubungan dengan ciri-ciri klinis penyakit, meliputi hiperinsulinemia, dislipidemia, dan resisten insulin. Banyak bukti mengindikasikan susunan kompleks berbagai faktor termasuk lingkungan dan gangguan selular yang luas dalam metabolisme glukosa dan lipid dalam jaringan yang bervariasi berkontribusi dalam berkembangnya resisten insulin. Kondisi ini menimbulkan perubahan metabolisme selular kompleks, terutama pada hati dan otot, meliputi ketidakmampuan hati untuk transpor dan membuang glukosa, kontrol produksi glukosa via glukoneogenesis, penyimpanan glukosa sebagai glikogen terganggu, lipogenesis de novo, dan hipertrigliseridemia. Dari semua faktor yang menyebabkan resisten insulin, obesitas menjadi faktor resiko utama penyebab insensitivas insulin dan diabetes. Obesitas berefek langsung dengan bertambahnya aliran nutrisi dan akumulasi energi dalam jaringan yang mempengaruhi secara langsung responsif sel terhadap insulin.

 

Diabetes Monogenik

Disebabkan karena defek genetik pada gen tunggal dalam sel β pankreas, menyebabkan gangguan fungsi atau reduksi jumlah sel β. Secara sederhana, yang dikategorikan diabetes monogenik adalah mereka dengan onset umur neonatal sebelum usia 6 bulan atau maturity onset diabetes of the young (MODY) sebelum usia 25 tahun.

Diferensiasi sel β bergantung pada ekspresi homeodomain transkripsi faktor PDX1 di mana mutasi pada gen ini menyebabkan early onset diabetes (MODY) dan ekspresinya berkurang sebelum onset diabetes. Angiopoietin seperti protein 8 (ANGPTL8) dapat muncul sebagai betatropin potensial yang meningkatkan proliferasi sel β, namun, studi menunjukkan tikus yang kekurangan gen ANGPTL8 atau berlebih mengindikasikan tidak berperan dalam proliferasi sel β.

Diabetes mitokondrial disebabkan mutasi DNA mitokondria berhubungan dengan tuli dan transmisi maternal DNA mutan bisa menyebabkan diabetes turunan.

Mutasi yang menyebabkan insulin mutan atau tidak mampunya merubah proinsulin menjadi insulin mengakibatkan intoleransi glukosa pada beberapa kasus. Defek genetik pada reseptor insulin atau transduksi pathway sinyal mengakibatkan hiperinsulinemia dan hiperglikemi sederhana sampai parah.

 

Penyakit Eksokrin Pankreas

Kerusakan pada sel β pankreas karena cedera difus bisa menyebabkan diabetes. Kerusakan disebabkan karena karsinoma pankreas, pankreatitis, infeksi, pankreatektomi, dan trauma. Atrofi eksokrin pankreas menyebabkan kehilangan besar sel β. Akumulasi lemak dalam pankreas atau steatosis pankreas bisa menyebabkan diabetes karena berkurangnya sekresi insulin namun memerlukan waktu cukup lama sebelum terjadi kehancuran sel β. Cirrhosis pada fibrosis kistik bisa berkontribusi terhadap resistensi insulin dan diabetes.

 

Hormon dan Obat-obatan

Diabetes ditemukan pada pasien dengan penyakit endokrin yang mensekresi hormon berlebih seperti growth hormone, glukokortikoid, glukagon, dan epineprin pada beberapa endokrinopati seperti akromegali, sindrom Cushing, glukagonoma, dan pheokromositoma. Beberapa hormon ini digunakan sebagai obat seperti glukokortikoid untuk menekan sistem imun dan kemoterapi, serta growth hormone untuk mengobati anak yang pertumbuhan terhenti.

 

V. CIRI-CIRI KLINIS

Utama:

1. Polifagia

2. Poliuri

3. Polidipsi

4. Penurunan berat badan yang tidak jelas sebabnya

Tidak khas:

1. Lemah

2. Kesemutan (rasa baal di ujung-ujung ekstremitas)

3. Gatal

4. Mata kabur

5. Disfungsi ereksi pada pria

6. Pruritus vulvae pada wanita

7. Luka sulit sembuh

Faktor risiko:

1. Berat badan lebih dan obese (IMT  25 kg/m)

2. Riwayat penyakit DM di keluarga

3. Hipertensi (TD  140/90 mmHg atau sedang dalam terapi hipertensi)

4. Riwayat melahirkan bayi dengan BBL > 4 kg atau pernah didiagnosis DM gestasional

5. Perempuan dengan riwayat PCOS (polikistik ovari sindrom)

6. Riwayat GDPT (glukosa darah puasa terganggu) / TGT (toleransi glukosa terganggu)

7. Aktivitas jasmani yang kurang

Komplikasi:

1. Akut: ketoasidosis diabetik, hiperosmolar non ketotik, hipoglikemia.

2. Kronis: makroangiopati pembuluh darah jantung, pembuluh darah perifer, pembuluh darah otak.

3. Mikroangiopati: pembuluh darah kapiler retina, pembuluh darah kapiler renal.

4. Neuropati.

5. Gabungan: kardiomiopati, rentan infeksi, kaki diabetik, disfungsi ereksi.

 

VI. DIAGNOSIS DAN PEMERIKSAAN

Kriteria diagnosis DM dan gangguan toleransi glukosa:

1. Gejala klasik DM (poliuria, polidipsia, polifagi) + glukosa plasma sewaktu  200 mg/dL (11,1 mmol/L). Glukosa plasma sewaktu merupakan hasil pemeriksaan sesaat pada suatu hari tanpa memperhatikan waktu makan terakhir.

2. Gejala klasik DM + kadar glukosa plasma puasa  126 mg/dL. Puasa diartikan pasien tidak mendapat kalori tambahan sedikitnya 8 jam.

3. Kadar glukosa plasma 2 jam pada tes toleransi glukosa oral (TTGO) > 200 mg/dL (11,1 mmol/L). TTGO dilakukan dengan standar WHO, menggunakan beban glukosa anhidrus 75 gram yang dilarutkan dalam air.

Apabila hasil pemeriksaan tidak memenuhi kriteria normal atau DM, maka dapat

digolongkan ke dalam kelompok Toleransi Glukosa Terganggu (TGT) atau Gula

Darah Puasa Teranggu (GDPT) tergantung dari hasil yang diperoleh

Kriteria gangguan toleransi glukosa:

1. GDPT ditegakkan bila setelah pemeriksaan glukosa plasma puasa didapatkan

antara 100–125 mg/dl (5,6–6,9 mmol/l)

2. TGT ditegakkan bila setelah pemeriksaan TTGO kadar glukosa plasma 140–199

mg/dl pada 2 jam sesudah beban glukosa 75 gram (7,8 -11,1 mmol/L)

3. HbA1C 5,7 -6,4%

Tabel I. Kriteria pasien diabetes mellitus

 

Baik

Sedang

Buruk

Glukosa darah puasa (mg/dL)

80 -99

100-125

126

Glukosa darah 2 jam (mg/dL)

80-144

145-179

180

A1C (%)

< 6,5

6,5 8

> 8

Kolesterol total (mg/dL)

< 200

200-239

240

Kolesterol LDL (mg/dL)

< 100

100 129

130

Kolesterol HDL (mg/dL)

Pria > 40

Wanita >

50

 

 

Trigliserida (mg/dL)

< 150

150-199

200

IMT (kg/m3)

18, 5 -23

23-25

> 25

Tekanan darah (mmHg)

130/80

> 130-140

/ >80-90

>140/90


 

Gambar 2. Algoritma diagnosis DM

 

VII. PERAWATAN

Terapi untuk Diabetes Melitus dilakukan dengan modifikasi gaya hidup dan pengobatan (algoritma pengelolaan DM tipe 2)

 

Gambar 3. Algoritme perawatan DM tanpa komplikasi

 

Dosis OHO

Cara pemberian OHO, terdiri dari:

1. OHO dimulai dengan dosis kecil dan ditingkatkan secara bertahap sesuai respons kadar glukosa darah, dapat diberikan sampai dosis optimal.

2. Sulfonilurea: 15 –30 menit sebelum makan.

3. Metformin : sebelum/pada saat/sesudah makan.

4. Penghambat glukosidase (Acarbose): bersama makan suapan pertama.

 

Konseling dan Edukasi

Edukasi meliputi pemahaman tentang:

1. Penyakit DM tipe 2 tidak dapat sembuh tetapi dapat dikontrol.

2. Gaya hidup sehat harus diterapkan pada penderita misalnya olahraga, menghindari rokok, dan menjaga pola makan.

3. Pemberian obat jangka panjang dengan kontrol teratur setiap 2 minggu.

Perencanaan Makan

Standar yang dianjurkan adalah makanan dengan komposisi:

1. Karbohidrat 45 – 65 %

2. Protein 15 – 20 %

3. Lemak 20 – 25 %

Jumlah kandungan kolesterol disarankan < 300 mg/hari. Diusahakan lemak berasal dari sumber asam lemak tidak jenuh (MUFA = Mono Unsaturated Fatty Acid), dan membatasi PUFA (Poly Unsaturated Fatty Acid) dan asam lemak jenuh. Jumlah kandungan serat + 25 g/hr, diutamakan serat larut.

Jumlah kalori basal per hari:

1. Laki-laki: 30 kal/kg BB idaman.

2. Wanita: 25 kal/kg BB idaman.

Rumus Broca:*

Berat badan ideal= ( TB – 100 ) – 10 %

*Pria < 160 cm dan wanita < 150 cm, tidak dikurangi 10 % lagi.

BB kurang : < 90 % BB idaman.

BB normal : 90 – 110 % BB idaman.

BB lebih : 110 – 120 % BB idaman.

Gemuk : >120 % BB idaman.

Penyesuaian (terhadap kalori basal/hari):

1.  Status gizi:

a. BB gemuk - 20 %

b. BB lebih - 10 %

c.  BB kurang + 20 %

2. Umur > 40 tahun : - 5 %

3. Stres metabolik (infeksi, operasi,dll): + (10 s/d 30 %)

4. Aktivitas:

a. Ringan + 10 %

b. Sedang + 20 %

c. Berat + 30 %

5. Hamil:

a. trimester I, II + 300 kal

b. trimester III / laktasi + 500 kal

 

Terapi Insulin

Merupakan andalan untuk pasien DM tipe 1. Pada kebanyakan pasien, frequent multiple dosing (basal dan bolus) umum digunakan. Continuous insulin delivery via pumps juga umum digunakan. Semua metode ini biasanya melibatkan injeksi subkutan. Terapi insulin sebaiknya menyerupai fisiologi pelepasan insulin, yang dikarakteristikkan dengan sekresi basal berkelanjutan, untuk mencegah hiperglikemia, seperti pelepasan insulin prandial untuk mencegah hiperglikemi postprandial. Selama puasa, insulin jangka panjang, di mana sifatnya flat tanpa puncak, digunakan, dan saat makan, injeksi bolus dengan kerja cepat digunakan untuk mencerna karbohidrat.

Zaman dulu, insulin didapatkan dari babi dan sapi. Namun, sekarang sudah digantikan dengan insulin rekombinan manusia. Banyak tipe insulin dikembangkan untuk menyediakan variasi onset aksi, meliputi rapid-acting (contohnya insulin analog seperti aspart, lispro, dan glulisine), intermediate acting (contohnya neutral protamine Hagedorn, biasanya dikenal dengan NPH), dan long-acting (contohnya glargine dan detemir). Terapi pump insulin, yang juga dikenal dengan continuous subcutaneous insulin infusion, lebih portabel, fleksibel, dan kenyamanan dari injeksi lebih sedikit, khususnya pada pasien DM tipe 1. Dasar keberhasilan terapi insulin adalah kemampuan pasien memonitor kadar gula darah mereka sendiri dengan glukometer, edukasi yang memungkinkan pasien mengatur dosis insulin mereka, diet dan olahraga untuk memproduksi normoglikemia, serta mencegah hipoglikemi. Terapi insulin dihubungkan dengan risiko menambah berat badan signifikan dan hipoglikemi.

Tabel II. Tipe Insulin

Tipe Insulin

Karakteristik

Aksi

Rapid-Acting Insulin

Insulin lispro

Insulin aspart

Insulin glulisine

 

Analog insulins

 

Merubah sekuens asam amino - meningkatkan monomer insulin yang diserap sangat cepat

 

Diinjeksi langsung sebelum makan

 

Meminimalisir hipoglikemi

 

Digunakan untuk continuous subcutaneous insulin infusion dan conventional subcutaneous injection therapy

Onset aksi: 15 menit sampai 30 menit

 

Aksi puncak: 1 sampai 2 jam

 

Durasi aksi: 4 sampai 5 jam

 

 

Short-Acting Insulin

Regular

Insulin manusia yang dapat larut

 

Diinjeksi 30 sampai 60 menit sebelum makan untuk aksi yang optimal; gagal melakukannya menyebabkan hiperglikemi postprandial

 

Kurang nyaman dibandingkan analogs rapid-acting

Onset aksi: 30 menit sampai 1 jam

 

Aksi puncak: 2 sampai 4 jam

 

Durasi aksi: 6-8 jam

Intermediate-Acting

Insulin

Neutral protamine

Hagedorn, biasanya dikenal sebagai  NPH

(isophane suspension)

 

Terbentuk dengan menambahkan protamine ke insulin manusia

 

Beraksi baik sebagai insulin basal dan bolus karena puncaknya pada 4 sampai 6 jam

 

Hipoglikemi menjadi masalah karena puncak tersebut

Onset aksi: 2 sampai 3 jam

 

Aksi puncak: 4 sampai 6 jam

 

Durasi aksi: 6 sampai 8 jam

Long-Acting Insulin

Glargine

Detemir

 

Analog insulin

 

Glargine: menyediakan level plasma yang konsisten untuk durasi lama dan tidak ada puncak

 

Detemir: berikatan dengan albumin via ikatan asam lemak, karena itu absorpsi lebih lambat dan level konsisten

Onset aksi: 1 sampai 2 jam

 

Aksi puncak: tidak ada

 

Durasi aksi: mencapai 24 jam untuk glargine dan 14 sampai 24 jam untuk detemir

 

Pramlintide

Karena sekresi amylin dari islets pada pasien DM tipe 1 juga terganggu, maka injeksi amylin dapat membantu kontrol glukosa. Amylin mengurangi pelepasan glukagon posprandial dan menunda pengosongan gastrik (mirip dengan aksi inkretin), di mana dapat membantu mencegah kenaikan glukosa setelah makan. Preparasi komersial amylin adalah pramlintide, di mana disetujui Food and Drug Administration (FDA) untuk mengobati pasien DM tipe 1 dan 2. Obat ini harus diinjeksikan tiap sebelum makan. Pada kontrol glukosa pada pasien DM tipe 1, tidak tersedia rute oral.

 

OHAs (Oral Hypoglicemic Agent)

Merupakan agen lini pertama yang digunakan untuk mengobati pasien DM tipe 2 dan obat ini bisa meningkatkan sekresi insulin pankreas atau memperbaiki aksi insulin (disebut juga “sensitizer”). Walaupun debat tentang manfaat masing-masing jenis masih terjadi, namun tiap jenis OHA sebenarnya efektif. Pada perkiraan pertama, kebanyakan OHA menyebabkan rata-rata 1 sampai 1.2% penurunan HbA1c.

Keuntungan OHA adalah mereka menyerupai fisiologi sekresi insulin. Agen yang tergolong kelas ini meliputi sulfonilurea dan meglitinides, baik keduanya bekerja melalui reseptor sulfonilurea pada sel β untuk melepas insulin. Insulin sensitizer memperbaik aksi jaringan yang ditarget insulin (hepatik, otot skeletal, dan jaringan adiposa) pada pasien dengan resisten insulin. Agen yang termasuk kelas ini meliputi biguanides (contohnya metformin), yang secara prinsip mengurangi glukoneogenesis hepatik dan memperbaiki otot mengambil glukosa, dan thiazolidine diones (misalnya pioglita zone dan rosiglitazone) yang beraksi utamanya pada adiposa dan otot skeletal untuk memperbaiki aksi insulin. Inhibitor α-Glukosidase (acarbose dan miglitol) mengurangi absorpsi glukosa dalam usus.

 

Incretin

Merupakan agen oral terbaru untuk mengobati pasien dengan DM tipe 2 melalui jalur incretin. Jenis ini meliputi inhibitor dipeptidyl peptidase IV. Agen ini mencegah kerusakan cepat 2 hormon yang disekresi intestinal (glucagon-like peptide-1 dan gastric inhibitory peptide) yang dilepaskan untuk merespon makanan. Hormon ini meningkatkan sekresi insulin, mengurangi sekresi glukagon, dan menghambat pengosongan lambung. Jalur incretin melemah pada pasien DM tipe 2 dan agen oral yang spesifik mentarget enzim dipeptidyl peptidase IV meningkatkan waktu paruh inkretin dalam aliran darah. Exenatide merupakan analog incretin sintetik (exendin-4) dan mentarget reseptor glucagon-like peptide-1. Obat ini berupa obat injeksi dan menyebabkan penurunan berat badan (berbeda dengan insulin yang menyebabkan kenaikan berat). Dari semua obat, hanya 2 (metformin dan exenatide) yang mengurangi berat secara konsisten dan juga memperbaiki kontrol glikemik. Agen lainnya cenderung menyebabkan naiknya berat badan.

OHA ini bisa digunakan sendirian atau dikombinasikan dengan jenis lain dan dengan insulin. Regimen harus komplemen satu sama lain dan tidak boleh memiliki efek sama, contohnya, mengkombinasikan sulfonilurea dengan meglitinide tidak efektif karena keduanya bekerja pada reseptor sulfonilurea untuk melepas insulin.

Tabel III. Karakteristik OHA

AGEN

MODE AKSI

EFEK SAMPING

Insulin Secretagogues

Sulfonylurea (sekarang generasi ketiga [glipizide, glimepiride, dll.])

 

 

Berikatan dengan reseptor sulfonylurea pada sel β memicu pelepasan insulin

 

Durasi aksi dan dosis harian bervariasi tiap agen

 

 

Hipoglikemi

 

Berat badan bertambah

Meglitinides (repaglinide,

nateglinide)

 

Berikatan dengan reseptor sulfonylurea

 

Durasi aksi pendek, aksi onset cepat, diperlukan waktu 15 menit sebelum makan untuk menyasar hiperglikemi postprandial

Secara keseluruhan tidak ada, namun berpotensi terjadi hipoglikemi

Insulin Sensitizers

Biguanides (metformin)

Mengurangi gluconeogenesis dan meningkatkan uptake glukosa perifer

 

Kontraindikasi pada insufisiensi ginjal dan gagal jantung

 

Menyebabkan penurunan berat badan dan risiko rendah hipoglikemi jika digunakan sendiri

Diare, nyeri abdominal

 

Risiko terjadi acidosis laktat

 

Xerostomia

Thiazolidinediones

(rosiglitazone, pioglitazone)

 

Mengaktifkan peroxisome proliferator- activated receptor y untuk mempengaruhi metabolisme glukosa dan lipid

 

Memperbaiki uptake glukosa perifer dalam otot skeletal dan lemak

 

Memerlukan waktu 6-12 minggu untuk mencapai efek terapeutik optimal

 

Tidak ada risiko signifikan terjadi hipoglikemi

Bertambahnya berat badan

 

Retensi air

 

Bisa menimbulkan gagal jantung kongestif pada orang yang rentan

 

Risiko kehilangan tulang bertambah

 

α-Glucosidase Inhibitors

Acarbose

Miglitol

Menghambat α-glukosidase dalam usus dan mencegah pemecahan beberapa karbohidrat kompleks menjadi gula sederhana yang kemudian tidak bisa diserap

 

Mencegah kenaikan glukosa postprandial

Kembung, diare, karena aksi bakteri koloni pada karbohidrat yang tidak tercerna

 

Transplantasi

Transplantasi seluruh pankreas atau isolated sel islet merupakan salah satu pilihan perawatan untuk pasien DM tipe 1. Jika berhasil, transplantasi menghilangkan atau mengurangi kebutuhan terapi insulin intensif, di mana dikaitkan dengan hipoglikemi parah, untuk mencapai kontrol glikemik yang normal. Transplantasi pankreas bisa dilakukan sendiri, pada kombinasi dengan transplantasi renal atau setelahnya, dan keberhasilan ditentukan dari ketersediaan/kecocokan organ, kegagalan cangkok, dan morbiditas dikaitkan dengan terapi imunosupresif serta komplikasi bedah. Transplantasi sel islet berpotensi untuk bebas dari pemakaian imunosupresi, mengingat banyak efek samping yang ditimbulkan dari agen imunosupresif.

 

VIII. PROGNOSIS

Prognosis umumnya adalah dubia. Karena penyakit ini adalah penyakit kronis, quo ad vitam umumnya adalah dubia ad bonam, namun quo ad fungsionam dan sanationamnya adalah dubia ad malam.

 

IX. HUBUNGAN DENGAN DENTAL

Hubungan Penyakit Periodontal dengan Diabetes Mellitus

Penyakit periodontal meliputi gingivitis (inflamasi di gingiva dan reversible pada kebersihan mulut yang baik) dan periodontitis (inflamasi meluas dan menyebabkan kehancuran jaringan dan resorpsi tulang alveolar). Rusaknya jaringan pada periodontitis menyebabkan kerusakan fiber kolagen pada ligamen periodontal, membentuk poket gigi antara gingiva dengan gigi. Poket tidak terlihat secara inspeksi visual dan pemeriksaan dengan probe penting. Periodontitis berlangsung lambat namun kehancuran jaringan luas dan ireversibel. Pada awalnya, tidak ada gejala, biasanya tidak nyeri dan banyak pasien tidak menyadari sampai terjadi kegoyahan gigi. Poket bertambah dalam akibat hancurnya fiber ligamen periodontal (karena attachment loss) dan resorpsi tulang alveolar terjadi paralel dengan progres attachment loss. Periodontitis lanjut ditandai dengan adanya eritema gingiva dan oedem, perdarahan gingiva, resesi gingiva, kegoyahan gigi, drifting gigi, supurasi poket periodontal, dan tanggalnya gigi.

Periodontitis sangat umum terjadi dan memiliki dampak negatif pada berbagai aspek dan kualitas hidup, kepercayaan diri, interaksi sosial, dan pilihan makanan. Faktor risiko utama adalah merokok, ini menambah risiko secara signifikan dan keparahan kondisi. Faktor risiko lainnya adalah diabetes, kondisi terkait respon imun compromised (misalnya HIV), defek nutrisi, osteoporosis, medikasi yang menyebabkan pertumbuhan gingiva berlebih (contohnya beberapa calcium channel blocker, fenitoin, ciclosporin), genetik, dan faktor lokal (defisiensi anatomi pada tulang alveolar).

DM telah terbukti menjadi faktor risiko utama periodontitis. Risiko periodontitis bertambah 3x lipat pada pasien diabetik dibandingkan pada individu non-diabetik. Kontrol glikemik menjadi kunci pada peningkatan risiko. Contohnya, pada US National Health and Nutrition Examination Survey (NHANES) III, dewasa dengan HbA1c >9% memiliki prevalensi periodontitis parah jauh lebih tinggi daripada mereka yang non-diabetik setelah mengkontrol usia, etnik, pendidikan, jenis kelamin, dan kebiasaan merokok.

DM tipe 1 juga memiliki risiko periodontitis yang meningkat. Sebuah studi mengidentifikasi bahwa 10% anak-anak (<18 tahun) dengan DM tipe 1 memiliki attachment loss dan kehilangan tulang yang bertambah dibandingkan dengan grup kontrol, meskipun skor plak sebanding. Studi terbaru yang melibatkan 350 anak diabetik (usia 6-18 tahun) vs 350 grup kontrol non-diabetik, proporsi lokasi periodontal yang terkena periodontitis lebih besar pada anak dengan diabetes (> 20% vs 8% lokasi).

Dokter gigi harus menyadari pentingnya diagnosis diabetes pada pasien dan kondisi oral yang berkaitan dengan diabetes, seperti xerostomia, infeksi candidal, dan periodontitis.

 

Gambar 4. Periodontitis (penampakan klinis) pada laki-laki usia 22 tahun dengan diabetes tipe 1 tidak terkontrol dan periodontitis parah. Terlihat inflamasi general, anatomi gingival abnormal karena hancurnya jaringan, resesi gingiva, pembengkakan dan inflamasi, perdarahan spontan, dan deposit plak yang menumpuk

 

 

Gambar 5. a. periodontitis (tampakan radiograf). Laki-laki usia 42 tahun dengan diabetes tipe 2 dan periodontitis general parah. Terdapat kehilangan tulang alveolar yang luas (keseluruhan 50-75% panjang akar) mempengaruhi seluruh gigi geligi, dengan pola kehilangan tulang iregular. Beberapa gigi sudah kehilangan semua pendukung tulang alveolar karena progresi periodontitis, contohnya gigi molar atas (kanan kiri) dan 4 gigi I bawah yang hanya ditahan jaringan lunak (kehilangan 100% dukungan tulang). b laki-laki usia 21 tahun tanpa periodontitis. Tulang alveolar normal, dengan puncak tulang alveolar mendekati cemento-enamel junction (batas antara mahkota enamel dan akar).

 

Hubungan Obesitas dengan Periodontitis

Faktor gaya hidup lain seperti obesitas, aktivitas fisik, dan diet juga mempengaruhi risiko periodontitis. Salah satu studi awal menunjukkan efek obesitas pada periodontitis menunjukkan tikus obes dengan periodontitis kehilangan tulang alveolar lebih banyak dibandingkan tikus yang non-obese. Timbunan lemak merupakan salah satu predisposisi dari beberapa komorbid dan komplikasi. Analisis oleh NHANES III mengidentifikasi pada individual dengan BMI  30 kg/m2 memiliki peningkatan risiko periodontitis dibandingkan individual dengan BMI 18,5-24,9 kg/m2. Meta-analysis terbaru menunjukkan hubungan signifikan antara periodontitis dengan obesitas.

 

Dampak Periodontitis pada DM

Studi terbaru banyak menekankan hubungan timbal balik antara diabetes dengan periodontitis, yaitu tidak hanya diabetes menimbulkan faktor risiko periodontitis, namun periodontitis memiliki dampak negatif pada kontrol glikemik. Bukti penelitian pertama datang dari komunitas Indian River. Periodontitis parah dihubungkan dengan kontrol glikemik yang buruk (HbA1c>9%) (follow-up minimum 2 tahun). Beberapa studi lain juga melaporkan prevalensi dan keparahan komplikasi non-oral diabetes-related, meliputi retinopatik, neuropati diabetik, proteinuria, dan komplikasi kardiovaskular, berhubungan dengan keparahan periodontitis.

Studi selanjutnya pada komunitas Indian River menyelidiki efek periodontitis pada perkembangan nefropati, dikenal sebagai makroalbuminuria dan end stage renal disease (ESRD), pada DM tipe 2. Pemeriksaan status periodontal dilakukan pada 529 orang berumur  25 tahun dengan DM tipe 2, glomerular filtration rate 60 ml min-1 1,73 m-2 dan tidak ada makro albuminuria (albumin urinari: rasio kreatinin 300 mg/g). Total 193 orang menderita makroalbuminuria (diamati selama 9,4 tahun) dan 68 menderita ESRD (rata-rata diikuti 14,9 tahun). Setelah mengontrol usia, jenis kelamin, durasi diabetes, BMI, dan kebiasaan merokok, insidensi makroalbuminuria adalah 2.0, 2.1, dan 2.6 lebih tinggi pada mereka dengan periodontitis sedang-parah atau edentulus, dibandingkan dengan mereka yang tanpa/periodontitis ringan (p<0.05). Insidensi ESRD adalah 2.3, 3.5, dan 4.9 kali lebih tinggi pada mereka dengan periodontitis sedang-parah atau edentulus (p<0,05). Maka dari itu, periodontitis sedang-parah atau edentulus diduga berkontribusi pada nefropati dan ESRD pada individu dengan DM tipe 2 dan individu tanpa/dengan penyakit ginjal ringan.

Penelitian yang sama juga menyelidiki efek periodontitis pada kematian akibat penyakit kardiovaskular dan nefropati diabetik. Periodontitis merupakan salah satu prediktor kematian karena pennyakit jantung iskemik dan nefropati diabetik. Setelah mengkontrol umur, jenis kelamin, durasi diabetes, HbA1c, makroalbuminuria, BMI, kolestrol, hipertensi, abnormalitas elektrokardiogram, dan merokok; pasien diabetes dengan periodontitis parah memiliki resiko 3,2x lebih besar terkena mortalitas kardiorenal (kombinasi penyakit jantung iskemik dan nefropati diabetik) dibandingkan grup kontrol (tanpa/periodontitis ringan dan sedang).

 

Mekanisme Patogenik yang Menghubungkan Diabetes dan Periodontitis

Periodontitis merupakan penyakit inflamasi kronis kompleks di mana inflamasi distimulasi dari adanya biofilm subgingival (plak gigi) jangka lama. Respon inflamasi ditandai dengan sekresi tidak teratur dari mediator inflamasi dan kerusakan jaringan. Kebanyakan studi membahas IL-1β, IL-6, prostaglandin E2 (PGE2), TNF-α, receptor activator of nuclear factor KB ligand (RANKL), dan matriks metaloproteinase (MMPs, khususnya MMP-8, MMP-9, dan MMP-13), beserta juga sitokin sel T regulator (contohnya IL-12, IL-18) dan kemokines. Seluruh respon inflamasi pada jaringan periodontal mencerminkan pola dan derajat progresif penyakit. Inflamasi merupakan ciri utama patogenesis diabetes dan periodontitis.

Baik DM tipe 1 dan 2 berhubungan dengan naiknya marker sistemik inflamasi. Naiknya inflamasi pada DM berkontribusi baik pada komplikasi mikrovaskular dan makrovaskular dan jelas bahwa hiperglikemi menyebabkan aktivasi pathway yang meningkatkan inflamasi, stres oksidatif, dan apoptosis. Kenaikan serum IL-6 dan TNF-α terjadi pada DM dan obesitas. Serum IL-6 dan C-reactive protein (CRP) bisa digunakan untuk memprediksi DM tipe 2 di masa depan. Kenaikan CRP juga dihubungkan dengan resisten insulin, DM tipe 2, dan penyakit kardiovaskular. TNF-α, IL-6, dan CRP merupakan penyebab utama fase akut, mengganggu sinyal insulin intraselular, berpotensi menyebabkan resisten insulin. Inflamasi sistemik yang dihubungkan penyakit periodontal juga meningkatkan DM. Adipokines juga bisa meningkatkan kerentanan periodontitis dan diabetes dan proinflamatori leptin meningkatkan inflamasi periodontal pada orang obese dan/atau DM tipe 2. Diabetes meningkatkan inflamasi periodontal. Contohnya PGE2 dan IL-1β pada GCF lebih tinggi pada pasien DM tipe 1 dengan gingivitis dan periodontitis dibandingkan dengan pasien non-diabet dengan penyakit periodontal yang sama. Pada studi pasien DM tipe 2, mereka yang HbA1c > 8% memiliki GCF IL-1β jauh lebih tinggi dibandingkan pasien dengan HbA1c < 8%.

Saat gangguan lipopolisakarida, monosit dari pasien DM tipe 1 memproduksi TNF-α, IL-1β, dan PGE2 daripada monosit pada individu non-diabet. Studi menunjukkan defek pada leukosit polimorfonuklear (PMN) pada pasien diabet, meliputi gangguan kemotaksis, fagositosis, dan fungsi mikrobisidal. PMN membutuhkan energi untuk berfungsi dan defek dihubungkan dengan perubahan metabolik yang terjadi pada diabetes. Pasien diabet dengan periodontitis parah menunjukkan kemotaksis PMN menurun dibandingkan individu dengan periodontitis ringan, begitu juga dengan defek PMN apoptosis, yang menyebabkan peningkatan retensi PMN pada jaringan periodontal, dan kehancuran jaringan lebih lanjut dengan pelepasan MMP dan reactive oxygen species (ROS). Diabet memperpanjang respon inflamasi terhadap P. gingivalis, meningkatkan produksi TNF-α. Perawatan periodontal menunjukkan pengurangan  jumlah serum mediator inflamasi, meliputi IL-6, TNF-α, CRP, dan MMP pada pasien dengan atau tanpa diabetes.

Akumulasi AGE pada jaringan periodontal juga berperan dalam inflamasi periodontal pada pasien DM. Ikatan AGE dengan reseptornya (RAGE) menyebabkan kenaikan produksi mediator inflamasi seperti IL-1β, TNF-α, dan IL-6. AGE menyebabkan produksi ROS dan meningkatkan stres oksidan, selanjutnya terjadi perubahan sel endhotelial menyebabkan cedera vaskular yang menyebabkan komplikasi diabetes. AGE juga meningkatkan pernapasan dari PMN, di mana berpotensi signifikan meningkatkan kerusakan jaringan lokal pada periodontitis. Lebih lanjut, AGE memiliki efek merugikan pada metabolisme tulang, menyebabkan gangguan perbaikan dan formasi tulang dan mengurangi produksi matriks ekstraselular. Apoptosis juga memainkan peran penting dalam meningkatkan kerentanan periodontitis berkaitan dengan DM dan apoptosis sel produksi matriks membatasi perbaikan jaringan inflamasi. Variasi inflamasi yang menghubungkan diabetes dan periodontitis digambarkan pada gambar 6.

 

Gambar 6. Representasi relasi hubungan timbal balik antara diabetes dengan periodontitis. Respon inflamasi yang berlebih dan tidak terkontrol menjadi penyebab utama interaksi periodontitis-DM dan kondisi hiperglikemik menyebabkan efek proinflamatori yang berpengaruh pada banyak sistem tubuh, salah satunya jaringan periodontal. Adipokines yang diproduksi jaringan adiposa meliputi mediator proinflamatori, seperti TNF-α, IL-6, dan leptin. Kondisi hiperglikemik menyebabkan deposisi AGE dalam jaringan periodontal (begitu juga di tempat lain tubuh) dan berikatan dengan reseptor AGE (RAGE) menyebabkan pelepasan sitokin lokal dan perubahan respon inflamasi. Fungsi neutrofil juga berubah pada kondisi diabetes, menyebabkan ledakan respirasi dan apoptosis terhambat (kehancuran jaringan periodontal bertambah). Produksi lokal sitokin pada jaringan periodontal mempengaruhi kontrol glikemik dan berdampak pada sinyal insulin. Semua faktor ini dikombinasikan dengan respon inflamasi jaringan periodontal yang tidak terkontrol dalam merespon kondisi kronis oleh bakteri dalam biofilm subgingival dan diperparah dengan merokok dan obesitas mengakibatkan munculnya patogen periodontal Selenomonas noxia >1.05% dari total populasi bakteri. S. noxia memiliki sensitivitas 98% dan spesivitas 80% sebagai prediktor obesitas, memunculkan pertanyaan apakah bakteri oral berperan dalam patologi yang mengakibatkan obesitas

 

Perawatan Periodontal Berhubungan dengan Perbaikan Kontrol Glikemik

Beberapa analisis meta mengonfirmasi terapi periodontal yang efektif dapat mengurangi HbA1c. Penelitian pertama melaporkan populasi 456 pasien; peneliti melaporkan pengurangan HbA1c rata-rata 0.66% hasil dari terapi periodontal. Pada tahun 2008, analisis meta dari 9 studi melibatkan 485 pasien dengan pengurangan signifikan HbA1c 0.46% hasil dari terapi periodontal. Pada 2010, analisis meta 5 studi melibatkan 371 pasien melaporkan pengurangan HbA1c 0.40% follow-up dari terapi periodontal selama 3-9 bulan. Baru-baru ini, Cochrane Collaboration melaporkan hubungan antara terapi periodontal dengan kontrol glikemik pada pasien DM. Mereka melaporkan reduksi signifikan pengurangan HbA1c 0.40% 3-4 bulan setelah terapi periodontal.

Secara kolektif, bukti ilmiah mendukung bahwa perbaikan kontrol metabolik diikuti dengan perawatan periodontitis. Mekanismenya belum diketahui secara pasti, namun dihubungkan dengan berkurangnya inflamasi sistemik (berkurangnya serum level mediator seperti TNF-α dan IL-6) mengikuti perawatan dan resolusi inflamasi periodontal. Reduksi HbA1c mengurangi risiko komplikasi diabetes. Sebagai contoh, tiap reduksi 1% HbA1c dihubungkan dengan reduksi risiko 21% komplikasi diabetes, 21% kematian karena diabetes, 14% dari myocardial infarction, dan 37% dari komplikasi mikrovaskular.

 

Relasi Diabetes dengan Kesehatan Mulut

 Dokter gigi bisa membantu dalam diagnosis awal dengan pemeriksaan gejala diabetes pada oral dan dental, serta mengedukasi komplikasi oral yang dapat terjadi.

 Dalam perawatan DM, nilai referensi HbA1c bervariasi tiap orang tergantung individu, usia, dan adanya penyakit sistemik lain. Nilanya harus <6,5 untuk anak muda dan 7.0-7.5 pada orang dewasa atau pada mereka yang memiliki penyakit sistemik.

 Intervensi bedah yang dilakukan di bawah anestesi general atau prosedur yang berlangsung lebih dari 2 jam harus memeriksa fungsi renal dan hepar pasien, serta ketidakseimbangan elektrolit pasien harus diatasi.

 

Xerostomia / Dry Mouth pada Pasien Diabetes

 Xerostomia bisa muncul pada pasien diabetik karena poliuria, gangguan glandular dalam glandula saliva karena penggunaan obat antihipertensi.

 Sebagai akibatnya, mukosa oral dapat terjadi trauma saat makan atau bicara, atau meningkatnya stomatitis dan infeksi candida.

 Pada pasien pemakai gigi tiruan sebaiknya diinformasikan cara menjaga kesehatan mulut, perawatan gigi tiruan, dan kapan butuh mengganti gigi tiruan.

 Pada diabetes, burning mouth syndrome bisa muncul karena neuropati perifer, menyebabkan xerostomia, candidiasis, dan gangguan pengecapan pada mulut. Hal ini mengakibatkan asupan makanan pasien dan berdampak buruk pada kontrol metabolik.

 

Gambar 7. Oral patofisiologi pada diabetes


Tanda dan Gejala Diabetes yang Nampak di Oral

1. Meningkatnya risiko infeksi

2. Pembesaran glandula saliva

3. Gangguan pengecapan

4. Nyeri orofasial

5. Hiperkeratosis, eritroplakia, leukoplakia

6. Oral lichen planus

7. Ulserasi

8. Fibromatous, lesi herpetik

9.Lesi yang melibatkan lidah (median rhomboid glossitis, geographic tongue, fibroma, leukoplakia, pseudomembranous glossit)

10. Dry mouth

11. Karies gigi meningkat

12. Penyakit periodontal meningkat

13. Hiperplasia gingival

14. Abses periodontal rekuren

15. Kadar glukosa saliva meningkat

16. Attachment dan bone loss

17. Burning mouth syndrome

18. Candidiasis oral

19. Luka lama sembuh

20. Bau napas seperti aseton

 

Komplikasi Oral pada Pasien Diabetes

1. akumulasi plak bakteri karena meningkatnya Ca2+ dan kadar glukosa dalam saliva

2. Lesi lichenoid

3. Ulser

4. Pulpitis

5. Alveolitis

 

Pendekatan Pra-perawatan pada Pasien Diabetes

 Doker gigi harus memiliki pengetahuan akan konsultasi medis diabetes yang detail dari pasien (tipe, perawatan yang telah/sedang dijalani, mekanisme obat, interaksi antar obat, dll.).

 Perawatan dental disarankan pagi hari.

 Sebelum perawatan restoratif dan prosedur bedah minor, pasien DM diminta melakukan medikasi pagi hari dan sarapan terlebih dahulu.

 Pengukuran kadar gula darah penting untuk menghindari terjadinya hipoglikemi.

 Pemberian antibiotik bisa diberikan untuk menghindari infeksi

 Risiko exaserbasi akut harus diwaspadai pada infeksi kronik.

 Menurunkan kecepatan sistem saluran gastrointestinal menyebabkan refleks muntah dan aspirasi meningkat. Dokter umum pasien harus mendiskusikan terkait obat-obat seperti H2 bloker dan agen prokinetik untuk mengurangi risiko aspirasi.

 Mengenai anestesi general dan prosedur bedah mayor, agen oral antidiabetik harus dihentikan 48 jam sebelum perawatan dengan berdiskusi bersama dokter umum pasien.

 Pasien tidak seharusnya menunggu lama dan kontrol nyeri harus adekuat.

 

Manajemen Perawatan Dental pada Pasien dengan Diabetes Melitus

Manajemen pasien DM di klinik gigi seharusnya bukan merupakan suatu hal yang menakutkan. Hipoglikemi merupakan alasan utama masalah klinisi dalam menangani pasien DM, terutama ketika pasien diminta puasa sebelum melakukan prosedur. Para pekerja harus dilatih menyadari dan menangani pasien dengan hipoglikemi, glukometer harus digunakan untuk tes kadar gula darah.

Setiap klinik gigi harus memiliki protokol penanganan hipoglikemi dalam kondisi sadar maupun tidak sadar. Penting untuk menyediakan makanan kecil atau gel glukosa atau tablet dalam kondisi darurat, khususnya di klinik di mana prosedur bedah minor sering dilakukan. Pasien dengan risiko hipoglikemi adalah mereka yang menerima terapi insulin dan informasi ini harus disadari klinisi akan kondisi ini. Walaupun risiko pasien yang menerima OHAs mengalami hipoglikemi kecil dibandingkan pemakai insulin, risiko bisa bertambah jika pasien punya penyakit renal atau hepatik. Untuk semua prosedur yang memerlukan sedasi atau anestesi sistemik harus memonitor kadar gula darah sebelum prosedur dan setiap interval 1 jam jika bedah berkepanjangan.

Tabel IV. Identifikasi dan perawatan hipoglikemi di klinik gigi

Gejala Hipoglikemi

Gemetar

Cemas

Palpitasi

Keringat bertambah

Lapar

Tanda Hipoglikemi

Tremor

Takikardi

Kesadaran berubah (letargi dan obtundasi atau perubahan sikap)

Kadar gula darah kurang dari 60 mg/dL

Prinsip-prinsip Umum

Perawatan harus dimulai secepat mungkin dan karyawan tidak hanya menunggu hasil lab atau respon dari dokter.

Jika kadar gula darah sangat rendah (misalnya, sekitar 40 mg/dL), darah harus diambil dan dikirim ke lab untuk mengukur kadar gula darah yang akurat karena keakuratan glukometer rendah pada kadar gula darah yang rendah.

Pasien Hipoglikemi yang Sadar

Berikan 15 gram karbohidrat sederhana: bisa dengan 1/2 kaleng soda, jus buah, atau tablet glukosa.

Jika kadar gula darah lebih dari 60 mg/dL, pasien diberikan makanan jika dekat dengan jam makan. Jika tidak pada jam makan, berikan makanan kecil yang mengandung karbohidrat, protein, dan lemak (contohnya, selai kacang dan sandwich atau susu). Makanan dari karbohidrat murni menyebabkan hipoglikemi kembali dengan cepat. Protein dan karbohidrat menyediakan pelepasan glukosa yang stabil.

Jika kadar gula darah <60 mg/dL, ulangi perawatan karbohidrat sederhana 15 g dan periksa kadar gula darah 15 menit kemudian. Lanjutkan protokol ini hingga kadar gula darah lebih tinggi dari 60 mg/dL dan diikuti dengan makanan ringan. Minta pasien untuk mendiskusikan hipoglikemi dengan dokter yang menangani DM pasien tersebut.

Pasien Hipoglikemi Tidak Sadar atau Tidak Dapat Mengkonsumsi Karbohidrat Oral

Dengan rute intravena

Berikan 5 sampai 25 g dekstrosa 50% langsung, akan diikuti dengan pemulihan pasien secara cepat.

Langsung beritahukan ke dokter umum pasien segera.

Tanpa Rute Intravena

Aplikasikan gel glukosa kedalam mulut pasien yang semiobtundasi atau rawat dengan 1 mg glukagon intramuskular atau subkutan; pasien akan sadar dalam waktu 15-20 menit.

Ulangi tes gula darah 15 menit kemudian.

Beritahukan dokter umum pasien segera.

 

Profilaksis Kesehatan Mulut pada Pasien dengan Diabetes

1. Meningkatkan aliran saliva

 Permen karet xylitol: 3x/20 menit tiap hari setelah makan.

 Preparasi mengandung sodium karboksimetil selulosa.

 Suplemen saliva dan moisturizer mukosa mulut.

2. Kontrol bakteri plak

 Instruksi menjaga kebersihan mulut.

 Obat kumur antiplak dan anti-tartar bebas alkohol.

 Obat kumur klorheksidin (tidak boleh dipakai lebih dari 14 hari).

3. Meningkatkan kapasitas remineralisasi

 Gel mengandung fluoride, varnis, dan obat kumur.

 CPP-ACP (Casein phosphopeptide-amorphous calcium phosphate) mengandung calcium phosphate, ACP (amorphous calcium-phosphate)- TCP (Tricalcium phosphate) (Tooth Mousse, MI Paste Plus, varnis Clinpro TCP White, dll.).

 Gel dan varnis mengandung klorheksidin.

 Permen karet xylitol: 3x (setelah makan)/20 menit sehari.

4. Konsultasi diet/saran

 Kebersihan mulut harus dijaga setelah makan. Jika tidak bisa, permen karet xylitol dikunyah 3x/20 menit dalam sehari.

 Karbohidrat kaya serat dengan indeks glikemik rendah dan kariogenik rendah direkomendasikan.

 Pemanis seperti sorbitol, xylitol, dan manitol merupakan gula alkohol. Mereka mengandung kalori yang bisa difermentasi. Oleh karena itu, hanya dikonsumsi sesuai rekomendasi.

 

Daftar Pustaka:

American Diabetes Association, Diagnosis and Classifification of Diabetes Mellitus, Diabet.Care (2010); 33(1): 562-569

Herman, W.H., Diabetes Epidemiology: Guiding Clinical and Public Health Practice, Diabetes Care (2007); 30(7): 1912-1919

Kharroubi, A.T., dan Darwish, H.M., Diabetes mellitus: The Epidemic of The Century, World J.Diabet. (2015); 6(6): 850-867

Kidambi, S., dan Patel, S.B., 2008, Diabetes mellitus: Considerations for Dentistry, JADA, 139: 8-18

Preshaw, P.M., Alba, A.L., Herrera, D., Jepsen, S., Konstantinidis, A., Makrilakis, K., dan Taylor, R., Periodontitis and Diabetes: A Two-way Relationship; Diabetologia (2012) 55:21–31

Tim Penyusun, 2014, Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer, p.530-537, Jakarta

Turkish Diabetes Foundation dan Turkish Dental Association, 2015, Clinical Guidelines In Dentistry for Diabetes, p.32-45

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Anomali Gigi : Taurodonsia / Taurodontism

Anomali Gigi : Fusi

Anomali Gigi : Concrescence