Ilmu Penyakit Mulut: Recurrent Aphthous Stomatitis (RAS)

 Author: drg. Kevin Marsel

“Mengakar kuat, menjulang tinggi”

 

I. DEFINISI

Suatu peradangan yang terjadi di mukosa mulut, berupa ulser putih kekuningan. Istilah “aphthous” datang dari bahasa Yunani “aphtha” yang berarti ulserasi. RAS merupakan kondisi mukosa oral yang terasa nyeri dan paling sering terjadi pada pasien

 

II. ETIOLOGI

Etiologi pasti dari RAS sampai sekarang belum diketahui, namun faktor-faktor yang dicurigai sebagai penyebab meliputi:

1. Perubahan hormon

Pasien perempuan dengan RAS memiliki hubungan antara onset dengan siklus menstruasi, kehamilan, dismenorhea, dan steroid.

2. Trauma

RAS sering dilaporkan pada daerah trauma karena sikat gigi atau daerah bekas injeksi anestetik dan perawatan dental. Trauma menjadi predisposisi dengan menyebabkan edema dan inflamasi selular di awal dengan peningkatan viskositas matriks ekstraselular submukosal oral. Tidak semua trauma oral menyebabkan RAS, karena pemakaian gigi tiruan tidak memiliki prevalensi tinggi terjadi RAS, walaupun faktanya studi Kohort menemukan bahwa pemakainya lebih rentan 3x lipat terjadi RAS.

3. Obat-obatan

Studi menunjukkan ada hubungan antara penggunaan obat-obat seperti sodium hipoklorit, piroksikam, fenobarbital, fenindion, beta-bloker, asam niflumik, nicorandil, gold salts, kaptopril dengan RAS. Obat-obat golongan NSAID, seperti asam pro-propionat, asam fenilasetat, dan diklofenak bisa menstimulasi terbentuknya ulser oral mirip seperti RAS.

4. Hipersensitivitas makanan

Makanan seperti coklat, kopi, kacang, sereal, almond, stroberi, keju, tomat, dan tepung terigu (mengandung gluten) bisa berdampak pada beberapa pasien. Studi menunjukkan juga ada hubungan kuat antara tinggi serum anti protein susu sapi imunoglobulin A (IgA), IgG, dan IgE terhadap manifestasi klinis RAS.

5. Defisiensi nutrisi

Kekurangan zat besi, serum feritin, folat, zinc; vitamin B1, B2, B6, B12, C, kalsium diduga menjadi faktor etiologi penyebab RAS. Beberapa defisiensi nutrisi bisa disebabkan penyakit lain seperti sindrom malabsorpsi atau sensitif gluten terkait atau tanpa enteropati. Pemeriksaan hematologi pasien RAS untuk anemia atau defisiensi zat besi, folat, dan vit B diperlukan pada pasien dengan RAS major atau RAS minor yang memburuk selama masa dewasa. Defisiensi kalsium dan vit C juga terjadi pada pasien RAS, namun penemuan ini juga terkait dengan defisiensi vit B1, mendukung bahwa defisiensi kombinasi nutrisi menjadi penyebab RAS.

6. Stres psikologi

Penelitian oleh Gallo mendapatkan bahwa grup pasien RAS memiliki stres psikologi lebih tinggi dibandingkan grup kontrol. Studi melaporkan stres mental lebih berpengaruh terhadap episode terjadinya RAS dibandingkan stres fisik, dan momen stres lebih berkaitan dengan onset RAS dibandingkan durasi lesi. Pada perempuan, munculnya RAS bisa bebarengan dengan mens dan stres akademik bisa menjadi faktor pemicu RAS pada anak sekolah. Klinisi harus menanyakan pada pasien faktor yang dapat memperparah episode RAS berdasarkan stres psikologi, fisik, maupun lingkungan.

7. Tembakau

Insidensi pasien RAS lebih rendah pada perokok dibandingkan non-perokok dan observasi klinis menunjukkan perokok yang berhenti mengalami peningkatan ulser mulut. Hal ini disebabkan karena tembakau menyebabkan keratinisasi mukosa oral, sehingga mukosa lebih kuat terhadap ulser. Penelitian Hill dkk. mendeskripsikan sebuah kasus dengan aphthosis kompleks yang terjadi seminggu setelah berhenti merokok. Setelah gagal dengan perawatan konvensional, pasien berhasil dirawat dengan lozenges nikotin. Mereka merekomendasikan penggunaan terapi pengganti nikotin jika perawatan konvensional gagal, khususnya pada pasien ex-perokok.

8. Herediter

Riwayat medis keluarga memiliki peranan dalam terjadinya RAS dan penelitian mendapatkan kasus dalam keluarga yang sama terjadi 24-46% lebih tinggi. Anak-anak dengan orang tua RAS positif memiliki kemungkinan 90% terjadi RAS pada usia dini dengan gejala lebih parah dan terjadi lebih sering.

9. Imunologi dan genetik

Terdapat kaitan antara human leukocyte antigen (HLA) dengan antigen RAS. Pada grup pasien dengan etnik berbeda, ditemukan hubungan signifikan antara HLA-DR2 dan RAS. Selain itu, beberapa HLA spesifik telah diidentifikasi pada pasien RAS: HLA-A2, HLA-B5, HLA-B12, HLA-B44, HLA-B51, HLA-B52, HLA-DR7, dan HLA-DQ. Studi menunjukkan beberapa etnis tertentu berhubungan dengan alel HLA yang berbeda atau haplotipe dengan tidak ada HLA spesifik yang konsisten berhubungan dengan RAS. Patofisiologi RAS juga terkait kelainan imunomodulator. Limfosit menjadi sel predominan pada lesi aphthoid dan ada variasi ratio CD4+/CD8+ selama fase prodromal atau pre-ulserasi, ulserasi, dan penyembuhan.

10. Kelainan sistemik yang berhubungan dengan RAS

Kelainan sistemik terkait lesi mirip RAS adalah defisiensi nutrisi penyebab anemia, sindrom Behcet’s, neutropenia cyclic, infeksi HIV, PFAPA, arthritis reaktif (sindrom Reiter), sindrom Sweet’s, sindrom Magic.

Sindrom Behcet’s merupakan kelainan multisistemik dikarakteristikkan dengan ulser oral dan genital; kutan (erythema nodosum, pustular vasculitis), ocular (anterior atau posterior uveitis), arthritic, vaskular (baik arterial dan vena vasculitis), sistem saraf pusat (meningoencephalitis), dan keterlibatan gastrointestinal. Sindrom ini biasa terjadi di daerah sekitar Laut Mediteran dan sepanjang “jalur sutra”, seperti di Turki, Iran, Korea, dan Jepang. Prevalensi penyakit ini 1:250 sampai 1:1000 di Turki dan 0,1:100.000 sampai 0,6:100.000 di USA dan Eropa Utara. Walaupun sindrom ini biasanya menyerang orang dewasa, beberapa kasus dilaporkan terjadi pada anak-anak. Respon inflamasi yang abnormal dari sindrom ini disebabkan kompleks imun yang dirangsang oleh limfosit T dan sel plasma. Klinisi harus bisa membedakan RAS yang disebabkan sindrom Behcet, yaitu dengan tes laboratorium. Pasien dengan Behcet memiliki titer antiSaccharomyces cerevisiae antibodies (ASCA) yang tinggi dibandingkan individu sehat. Namun, hal ini juga tidak semudah yang diperkirakan, karena 70% pasien dengan penyakit Crohn’s dan 15% pasien dengan ulseratif colitis juga ASCA positif dan penyakit keduanya juga berhubungan dengan ulser oral rekuren.

Variasi lain dari sindrom Behcet’s ditandai dengan polikondritis relaps, ulser mulut dan genital dengan kartilago inflamasi disebut dengan sindrom MAGIC.

Penyakit inflamasi usus seperti penyakit Crohn’s dan ulcerative colitis dikaitkan dengan ulser oral menyerupai RAS, namun lesi Chron’s sering terjadi border indurasi dan secara histologis berbeda karena tampakan granulomatosa pada lesi. Kira-kira sekitar 10% pasien mengalami ulser oral dan manifestasi oral biasanya mendahului gejala pada intestinal. Beberapa peneliti mempercayai inflamasi pada kelenjar saliva minor menjadi penyebab terjadinya ulser oral.

Penyakit celiac, suatu autoimun sensitif terhadap gluten juga sering dikaitkan dengan RAS, namun penyebab saling keterkaitannya belum terlalu jelas. Prevalensi RAS pada penyakit celiac berkisar antara 4-40%, namun ulser oral juga bervariasi antara 3-61%. Ulser oral pada penyakit celiac tidak memiliki ciri khas khusus dari RAS dan biasanya teratasi ketika pasien celiac melakukan diet bebas gluten. Maka dari itu, ulser oral pada pasien celiac tidak termasuk RAS.

 

Gambar 1. ulser dengan margin indurasi pada mukosa bukal pada pasien Crohn’s

Stomatitis aftosa berpotensial muncul pada orang terinfeksi HIV, kira-kira 5-15% pasien HIV muncul lesi RAS. Walaupun RAS bisa terjadi pada pasien imunokompeten, namun mereka memiliki self limit dibandingkan pasien HIV, terlebih mereka yang menggunakan obat imunosupresi. Ulser oral pada pasien HIV ukurannya lebih besar, lebih menyakitkan, sembuh lebih lambat, dan terjadi lebih sering dibandingkan pasien imunokompeten. RAS juga merupakan temuan umum pada pasien HIV pada anak. RAS biasanya merupakan temuan agak akhir pada pasien AIDS dengan limfosit CD4+ di bawah 100 sel/mm3.

Pada cyclic neutropenia, neutrofil di sirkulasi berkurang atau dapat hilang sementara. Penyakit ini ditandai dengan episode demam periodik yang dimulai saat bayi dan dikaitkan dengan otitis, faringitis, cervical adenitis (PFAPA) atau sindrom Marshall, furuncles, mastoiditis, dan RAS. Penyakit ini merupakan kelainan langka yang muncul pada masa anak-anak dan juga dikaitkan dengan ulser oral ketika jumlah neutrofil turun drastis. Ulser oral biasanya tidak bisa dibedakan dengan RAS.

11. Alergi

Hipersensitivitas terhadap makanan tertentu, mikrobiota oral seperti S.sanguis, dan microbial heat shock protein diduga menjadi faktor penyebab RAS, namun belum ada bukti ilmiah yang mendukung alergi sebagai penyebab utama RAS. Walaupun ada beberapa studi melaporkan pasien RAS memiliki hipersensitif terhadap alergen lingkungan, penelitian lain tidak menemukan korelasi signifikan antara hipersensitivitas dan RAS. Pada penelitian lain, pasien yang memakai alat ortodontik dari nikel mengalami RAS yang juga kebetulan mengenai alat ortodontik tersebut. Ketika alat dilepas dengan alat bebas nikel, lesi mukosal membaik. RAS pada pasien ini karena efek sistemik menelan nikel dibandingkan karena kontak langsung, karena tes patch terhadap nikel sulfat tidak mereaktivasi ulserasi mukosa.

Efek denaturasi sodium lauril sulfat (SLS) yang umum terdapat pada pasta gigi juga diduga menjadi penyebab RAS. SLS dapat mengerosi lapisan musin oral, menyebabkan permukaan epithelium terpapar, sehingga rentan terjadi RAS. Teori ini memerlukan klarifikasi lebih lanjut, karena juga didemonstrasikan bahwa penggunaan pasta gigi bebas SLS tidak mempengaruhi perkembangan lesi baru pada pasien RAS.

 

III. PATOGENESIS

Pasien RAS biasanya mengalami prodromal sensasi terbakar yang berlangsung antara 2 sampai 48 jam sebelum ulser muncul. Ulser bulat dengan batas tegas margin eritematus dan tengahnya ulser dangkal dilapisi lapisan fibrin pseudomembran berwarna abu-abu kekuningan. Daerah predileksi RAS biasanya pada mukosa oral non-keratinisasi, dengan mukosa bukal dan labial paling sering terjadi, dan berlangsung selama 10-14 hari tanpa terbentuk jaringan parut. Ulser oral pada penyakit Behcet secara klinis sama, namun mereka lebih cenderung berupa aftosa mayor. Karakteristik mikroskopik RAS tidak spesifik. Lesi preulseratif menunjukkan sel subepithelial inflamatori mononuclear dengan sel mast berlimpah, edema jaringan ikat, dan lapisan margin dengan neutrofil. Kerusakan pada epithelium biasanya dimulai dari lapisan basal dan terus melewati lapisan superfisial, menyebabkan ulserasi dan eksudat pada permukaan. Terdapat juga eritrosit ekstravasasi mengelilingi margin ulser, neutrofil subepithelial ekstravaskular, beberapa makrofage sarat dengan fagolisosom, ikatan tidak spesifik antara sel stratum spinosum dengan imunoglobulin dan komplemen bisa disebabkan karena kebocoran vaskular dan difusi pasif protein serum. Temuan ini menunjukkan patogenesis RAS bisa jadi disebabkan mediasi imun kompleks vaskulitis. Onset lesi RAS terkait dengan respon imun dimediasi sel, generasi sel T, dan produksi TNF-α. Sel mononuklear darah perifer pasien RAS menunjukkan sekresi TNF-α yang tinggi, mengindikasikan TNF-α berperan penting dalam patogenesis RAS. TNF-α memediasi adhesi sel endothelial dan kemotaksis neutrofil menginisiasi kaskade proses inflamasi sehingga terjadi ulserasi. Mayoritas TNF-α diproduksi untuk merespon aktivasi toll-like receptors (TLRs), 1 set reseptor membran fungsional terkait respon imun dan proteksi barier epithelial. TLR bisa memiliki sifat baik pro- dan anti-inflamasi. Untuk pro-inflamasi TLR meningkat drastis dalam epithelium dan lamina propria pada beberapa pasien RAS, penurunan ekspresi TLR dengan aktivitas anti-inflamatori juga ditemukan pada pasien RAS dalam studi Cohort lainnya. Maka dari itu, peranan TLR pada patogenesis RAS masih perlu diteliti, namun kemungkinan ketidakseimbangan dalam pro- dan anti-inflamatori TLR bisa meningkatkan kerentanan RAS pada beberapa individu.

Fase penyakitnya:

1. Fase premonisi (24 jam), muncul gejala namun tidak ada tanda penyakit yang terlihat.

2. Pre-ulseratif (antara 18 jam sampai 3 hari), muncul eritema dan edema ringan.

3. Ulseratif (1-16 hari): muncul ulser aktif.

4. Healing (4-35 hari, biasanya <21 hari): penurunan gejala dan penyembuhan progresif.

5. Remisi: tidak ada tanda-tanda ulser.

Kekambuhan penyakit dilihat dari adanya ulser baru. Keparahan penyakit ditentukan dari jumlah, ukuran dan lokasi lesi, nyeri, durasi, periode bebas ulser, dan dampaknya terhadap kualitas hidup seseorang.

 

IV. EPIDEMIOLOGI

Rata-rata 20% seluruh populasi mengalami RAS, namun insidensi bervariasi dari 5 sampai 50% tergantung kelompok etnik dan sosioekonomi. Prevalensi RAS dipengaruhi studi populasi, kriteria diagnostik, dan faktor lingkungan. Pada anak, prevalensi RAS mungkin setinggi 39% dan dipengaruhi oleh RAS pada satu atau kedua orang tuanya. Anak dengan orang tua positif RAS memiliki resiko 90% terkena RAS dibandingkan 20% dengan mereka yang orang tuanya RAS negatif. Pada anak dengan status sosioekonomi tinggi, RAS 5x lebih sering terjadi. Prevalensi RAS (laki-laki 48,3%; perempuan 57,2%) lebih tinggi pada anak sekolah dibandingkan dengan subjek yang sama 12 tahun kemudian saat sudah di dunia kerja. Temuan ini memunculkan teori bahwa stres saat sekolah merupakan faktor utama terjadi RAS, walaupun perubahan usia juga harus dipertimbangkan. Onset RAS memuncak antara umur 10 sampai 19 dan makin berkurang seiring bertambahnya usia, lokasi geografik, atau gender. Jika RAS muncul dengan keparahan meningkat signifikan setelah dekade ketiga dan usia dewasa, maka harus dicurigai etiologi kondisi lain yang menjadi faktor penyebab, seperti hematologi, imunologi, penyakit jaringan ikat, atau sindrom Behcet.

 

V. TANDA DAN GEJALA KLINIS

Tampakan klinis RAS terbagi menjadi:

1. RAS minor

Merupakan bentuk paling umum dan rata-rata 85% pasien menderita lesi tipe ini. Daerah predileksi mengenai area non-keratinisasi oral (mukosa labial dan bukal, dasar mulut, dan permukaan ventral atau lateral lidah), namun biasanya terpusat pada bagian anterior mulut. Ulser superfisial, biasanya diameter <1 cm (rata-rata 4-5 mm). Klasifikasi jenis ini tidak hanya berdasarkan ukuran lesi saja, namun juga ciri klinis lain, seperti jumlah ulser dari 1-5. Bentuk ulser bervariasi tergantung lokasi lesi, lebih bulat pada mukosa labial atau bukal dan elongasi pada sulkus bukal. RAS ini tidak menyebabkan jaringan parut dan sembuh sendiri dalam waktu antara 10-14 hari. Ulser berupa pseudomembran keabuan dikelilingi halo eritematus.

 

Gambar 2. RAS minor pada mukosa labial

2. RAS mayor

Terjadi pada 10-15% dari semua kasus RAS. Tampakan klinis sama dengan minor, namun ukurannya lebih besar (diameter >1 cm), lebih dalam, sering timbul jaringan parut, dan dapat berlangsung selama minggu atau bulan. Daerah predileksi di bibir, lidah, palatum lunak, dan permukaan palatal (menimbulkan nyeri hebat dan disfagia). Biasanya ditemukan pada pasien HIV.

Gambar 3. RAS mayor pada mukosa labial

3. Ulser herpetiform

Terjadi hanya 5-10% dari semua kasus RAS. Ada kemiripan dengan infeksi yang disebabkan herpes simplex virus (HSV). Bentuk lesi kecil (1-2 mm) dan ulser multiple (5-100) dapat muncul pada waktu bersamaan. Semua area non-keratinisasi dapat terkena dengan daerah predileksi pada margin lateral dan permukaan ventral lidah, serta dasar mulut. Tampakan klinisnya berwarna keabuan dan tanpa dikelilingi border eritematus, membuat mereka sulit untuk dilihat. Ukurannya kecil, menyebabkan nyeri dan dapat membuat sulit makan dan bicara. Satu ulsernya bisa bertahan selama 7-14 hari dan periode remisi antar serangan bervariasi. Ulser ini bisa menyatu membentuk area ulser konfluen yang lebih luas, biasanya ditandai dengan kemerahan. Pasien biasanya perempuan dan memiliki onset usia lanjut dibandingkan tipe RAS lainnya.

Gambar 4. Herpetiform ulser

 

VI. DIAGNOSIS DAN PEMERIKSAAN

Diagnosis RAS berdasarkan riwayat klinis dan pemeriksaan ulser yang detail dan akurat. Lebih lanjut, dibutuhkan juga pemeriksaan ekstraoral, misalnya palpasi nodus limfatikus servikal. Hal penting yang perlu digali pada pemeriksaan pasien meliputi: riwayat keluarga, frekuensi ulser, durasi ulser, jumlah, letak (di area non-keratinisasi atau keratinisasi), ukuran dan bentuk ulser, riwayat medis terkait, ulser genital, penyakit kulit lainnya, gangguan gastrointestinal, riwayat obat-obatan, tepi ulser, dasar ulser, dan jaringan yang mengelilinginya. Lebih lanjut, pemeriksaan untuk pasien dengan RAS persisten meliputi hemoglobin dan hitung darah lengkap, eritrosit sedimentation rate/C-reactive protein, serum B-12, serum/red cell folate, anti-gliadin, dan anti-endomisial autoantibodi. Pemeriksaan klinis ulser meliputi inspeksi dan palpasi. Dasar ulser bisa berupa nekrotik, granular purulen, atau dilapisi mukus.

Tabel I. Ciri-ciri klinis RAS

Karakter

Tipe RAS

Minor

Mayor

Herpetiform

Puncak usia saat onset (dekade)

Kedua

Pertama dan kedua

Ketiga

Jumlah ulser

1-5

1-3

5-20 (sampai 100)

Ukuran ulser (mm)

<10

>10

1-2

Durasi

7-14 hari

2 minggu-3bulan

7-14 hari

Sembuh dengan jaringan parut

Tidak

Ya

Tidak

Lokasi

Mukosa non-keratin, khususnya mukosa labial/bukal, dorsum dan batas lateral lidah

Mukosa keratin dan non-keratin, biasanya pada palatum mole

Mukosa non-keratinisasi, biasanya pada dasar mulut dan permukaan ventral lidah

Konsistensi dasarnya bisa lunak, padat, atau keras, dan fiksasi dengan struktur permukaan bisa dievaluasi dengan palpasi. Tepi ulser bisa regular atau iregular dan dapat sulit dibedakan kontrasnya dengan jaringan sekitar. Jika ada indurasi, itu terkait infiltrasi neoplastik. Ciri lain karsinoma berupa rolled border. Jaringan sekitar ulser dapat putih, speckled, eritematus, atau normal dalam tampilannya. Pasien dengan RAS persisten diawasi apakah ada kelainan hematinik, mencakup tes hitung darah lengkap, mengukur marker inflamasi dan hematinik (serum feritin, serum B12, serum dan red cell folate). Pemeriksaan defisiensi vitamin B kompleks atau zat seng tidak umum dilakukan, namun bisa diindikasikan untuk beberapa grup pasien. RAS terkait penyakit sistemik harus dirujuk kepada spesialis untuk pemeriksaan lebih lanjut. Jika ada kecurigaan penyakit coeliac, baik karena riwayat pasien atau bukti adanya malabsorpsi, maka tes serologi untuk autoantibodi IgA dapat dilakukan dan pasien dirujuk ke gastroenterologis untuk dilakukan endoskopi dan biopsi usus kecil.

 

VII. DIFFERENTIAL DIAGNOSIS

1. Recurrent aphthous stomatitis (idiopatik).

2. Drug induced: fixed drug eruption, linear IgA bullous dermatosis, drug-induced bullous pemohigoid, drug-induced pemphigus, sindrom Steven-Johnson, toxic epidermal necrolisis.

3. Penyakit autoimun: Crohn’s (orofasial granulomatosis), Behcet, celiac, lupus eritematosus sistemik, lichen planus, linear IgA bullous dermatosis, Wegener’s granulomatosis.

4. Trauma: alat dental, necrotizing sialometaplasia.

5. Hematologi: anemia, neutropenia, sindrom hipereosinofilik.

6. Sindrom fever: cyclic neutropenia, PFAPA (demam periodik, RAS, faringitis, adenitis servikal), sindrom Sweet, familial Mediterranean fever, hiperimunoglobulinemia D dengan periodic fever syndrome (HiDS).

7. Kelainan vesikobulosa: pemphigus vulgaris, penyakit linear IgA, eritemamultiform.

8. Defisiensi nutrisi: zat besi, folate, seng, B1, B2, B6, B12.

9. Viral: coxsackie A, herpes simplex, herpes zoster, cytomegalovirus, epstein-barr, HIV.

10. Bakterial: tuberculosis, sifilis.

11. Fungal: coccidioidesimmitis, Cryptococcus neoformans, Blastomyces dermatitidis.

12. Turunan: epidermolysis bullosa, penyakit kronis granulomatosa.

13. Lainnya: sindrom MAGIC, gangguan hormonal, malignansi, perokok, hormonal (terkait menstruasi).

 

VIII. PERAWATAN

Saat ini belum ada persetujuan perawatan RAS. Tujuan dari perawatan adalah untuk mengurangi gejala, mengurangi jumlah dan ukuran ulser, serta meningkatkan periode bebas ulser. Perawatan harus melalui pendekatan dari keparahan penyakit (nyeri), riwayat penyakit pasien, frekuensi flare-up, dan kemampuan pasien untuk mentoleransi pengobatan. Beberapa pasien RAS hanya beberapa kali dalam setahun, hanya memerlukan terapi paliatif untuk nyeri dan menjaga kebersihan mulut. Terapi obat-obatan bisa dipertimbangkan untuk pasien dengan episode RAS sering terjadi dengan tanda dan gejala nyeri yang parah dan kesulitan makan. Klinisi harus mengetahui kemungkinan defisiensi nutrisi atau alergi yang menyebabkan onset sebelum memulai medikasi RAS. Penelitian menurut Kozlak dkk. menyarankan pemberian vitamin B12 dan folate berguna dalam mengurangi jumlah dan durasi episode RAS. Perawatan yang umum dilakukan adalah pemberian terapi glukokortikoid dan antimikrobial. Medikasi ini dapat berbentuk pasta topikal, obat kumur, injeksi intralesional, dan sistemik melalui rute oral. Anestesi topikal seperti lidokain hidroklorit 2% bisa digunakan untuk paliatif nyeri.

1. Agen topikal

Beberapa pasta dan gel bisa digunakan untuk melapisi permukaan ulser dan membentuk barier protektif dari infeksi sekunder dan iritasi mekanis. Agen topikal merupakan pilihan pertama perawatan RAS. Pasien mengaplikasikan sedikit gel/krim setelah berkumur dan menghindari makan atau minum selama 30 menit. Dilakukan 3-4x sehari.

Perawatan topikal bisa mencegah superinfeksi, proteksi ulser, analgesik, dan mengurangi ulser. Bisa juga memberikan pasien klorheksidin 0,2% untuk berkumur pasien RAS dan mengurangi resiko terjadinya superinfeksi oleh bakteri gram-positif dan gram-negatif, serta fungi. Studi in vitro juga menunjukkan aktivitas melawan virus enveloped (virus herpes simpleks, cytomegalovirus, influenza, dan respiratory synctial virus (rsV), serta mencegah terbentuknya formasi biofilm yang dapat membentuk plak gigi.

Antibiotik topikal seperti doksisiklin atau obat kumur minosiklin juga efektif sebagai penghambat sekunder metaloproteinase. Lapisan protektif ulser juga bisa didapat dari pasta bioadesif dengan benzokain 20% untuk menghilangkan nyeri. Salep lidokain 5% dan spray lidokain 10% juga efektif sebagai analgesik sementara. Sifat anti-inflamasi dari diklofenak 3% dengan asam hyaluronat 2,5% juga dapat digunakan. Kortikosteroid topikal (obat kumur betametason, spray flutikason propionat, triamsinolon via oral) biasa juga digunakan dan efektif untuk ulser aktif, bisa juga ditambah antifungal untuk mengurangi resiko candidiasis dalam jangka panjang.

2. Obat Kumur

Obat kumur antibiotik tetrasiklin bisa digunakan untuk mengurangi ukuran ulser, durasi, dan nyeri karena kemampuannya memblok aktivitas kolagenase. Klorheksidin glukonat merupakan salah satu agen antibiotik yang dapat mengurangi lamanya ulser, namun dapat menyebabkan pewarnaan gigi dan lidah.

3. Gel topikal, krim, dan salep

Kortikosteroid topikal bisa mengurangi proses inflamasi. Medikasi ini bisa beraksi pada limfosit dan mengubah respon sel efektor untuk mempercepat imunopatogenesis (misalnya trauma dan alergi makanan). Penelitian Al-Na’mah menunjukkan bahwa dexamukobase efektif untuk mengobati ulser oral, misalnya Kenalog orabase. Penelitian oleh Meng dkk. mengindikasikan oral adhesif amlexanox efektif dan seaman amlexanox tablet adhesif oral pada pengobatan RAS minor. Beberapa glukokortikoid topikal seperti fluosinonid dan clobetasol dapat menjadi pilihan jika digunakan sendiri atau dikombinasikan dengan orabase.

4. Medikasi sistemik

Diindikasikan untuk ulser yang parah dan sering kambuhan, serta medikasi topikal tidak efektif untuk kasus ini. Penelitian oleh Pakfetrat dkk. membandingkan colchisine dan prednisolon (agen imunomodulan) dan mendapatkan prednisolon dosis rendah dengan colchisine sama-sama efektif mengobati RAS, walaupun colchisine memiliki efek samping lebih banyak. Clofamizin bisa menjadi pilihan perawatan RAS. Levamisole tidak efektif sebagai perawatan profilaksis pada perawatan RAS.

Diklofenak dapat mengurangi durasi nyeri dengan menghambat produksi cyclooxygenase dan mencegah terbentuknya asam arakidonat mengubah senyawa lain menjadi prostaglandin.

Obat pentoxifylline, inhibitor fosfodiesterase non-selektif dengan sifat hemorheologi, memiliki manfaat potensial. Obat ini mampu menghambat iritan dan hipersensitivitas kontak, dan digunakan untuk pengobatan rheumatoid arthritis, multiple sclerosis, dan imun lain dimediasi kondisi. Obat ini menghambat produksi TNF-α dan produksi beberapa sel T-helper lain serta sitokin proinflamatori, seperti interleukin-1β yang berperan dalam proses penyakit RAS.

Pada kasus RAS parah, imunosupresif dan obat anti inflamatori menunjukkan derajat kesuksesan bervariasi. Obat-obat yang sering digunakan meliputi kortikosteroid, dapsone, colchicine, dan thalidomide. Dapson menghambat migrasi leukosit polimorfonuklear dengan menghambat aktivitas enzim lisosom dan mempengaruhi respon selular terhadap stimulus kemotaktik.

Terapi laser (kekuatan tinggi dan rendah) digunakan untuk RAS dan telah muncul studi kasus dan studi klinis. Pada beberapa studi, terapi laser kekuatan rendah memiliki efektivitas lebih baik daripada steroid topikal.

 

 

Daftar Pustaka:

Akintoye, S.O., dan Greenberg, M.S., 2014, Recurrent Aphthous Stomatitis, Dent. Clin. North Am; 58(2): 281–297

Al-Na’mah, Z.M., Carson, R., dan Thanoon, I.A., 2009, Dexamucobase: A Novel Treatment for Oral Aphthous Ulceration. Quintessence Int;40(5):399-404

Chiang, C.P., Chang, J.Y., Wang, Y.P., Wu, Y.H., Wu, Y.C., dan Sun, A.,  2019, Recurrent Aphthous Stomatitis: Etiology, Serum Autoantibodies, Anemia, Hematinic Defificiencies, and Management, J. of the Formosan Med.Assoc.: 118, 1279-1289

Edgar, N.R., Saleh, D., dan Miller, R.A., 2017, Recurrent Aphthous Stomatitis: A Review, J Clin Aesthet Dermatol;10(3):26–36

Gallo, Cde B, Mimura, M.A., dan Sugaya, N.N., Psychological Stress and Recurrent Aphthous Stomatitis. Clinics (Sao Paulo);64(7):645-8

Hill, S.C., Stavrakoglou, A., dan Coutts, I.R., 2010, Nicotine Replacement Therapy As A Treatment for Complex Aphthosis, J.Derm.Treat.;21(5):317-8.

Kozlak, S.T., Walsh, S.J., dan Lalla, R.V., 2010, Reduced Dietary Intake of Vitamin B12 and Folate In Patients with Recurrent Aphthous Stomatitis, J.Oral Pathol. Med;39(5):420-3

Meng, W., Dong, Y., Liu, J., Wang, Z., Zhong, X., dan Chen, R., 2009, A Clinical Evaluation of Amlexanox Oral Adhesive Pellicles In The Treatment of Recurrent Aphthous Stomatitis and Comparison with Amlexanox Oral Tablets: A Randomized, Placebo Controlled, Blinded, Multicenter Clinical Trial, Trials;10:30

Mohamed, S., dan Janakiram, C., 2014, Recurrent Aphthous Ulcers Among Tobacco Users- Hospital Based Study, J. of Clin. and Diag. Res; 8(11): ZC64-ZC66

Rivera, C., 2019, Essentials of recurrent aphthous stomatitis (Review), Biomedical Reports, 11: 47-50

Tarakji, B., Gazal, G., Al-Maweri, S.A., Azzeghaiby, S.N., dan Alaizari, N., 2015, Guideline for the Diagnosis          and Treatment of Recurrent Aphthous Stomatitis for Dental Practitioners, J.of Int. Oral Health;                  7(5):74-80

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Anomali Gigi : Taurodonsia / Taurodontism

Anomali Gigi : Fusi

Anomali Gigi : Concrescence