Anomali Gigi: Hiperdonsia
Author
: drg. Kevin Marsel
1.
DEFINISI :
Kondisi di mana terdapat gigi desidui atau
permanen tambahan dan bisa ditemukan di region mana saja pada lengkung rahang.
Tambahan gigi tersebut dinamakan gigi supernumerari.
2.
ETIOLOGI :
Belum dipahami sepenuhnya. Faktor genetik dan
lingkungan diduga menjadi pemicunya. Ada beberapa teori yang memaparkan
etiologi hiperdonsia :
a. Atavisme : gigi supernumerari dihasilkan dari
reversi filogenetik menjadi primata yang telah punah dengan 3 pasang gigi
incisor. Teori ini sudah tidak digunakan.
b. Teori dikotomi : benih gigi membelah menjadi 2
sama besar atau dengan ukuran yang berbeda, menyebabkan terbentuknya 2 gigi
dengan ukuran sama atau 1 normal dan 1 gigi dismorfik. Teori ini juga sudah
ditinggalkan.
c. Teori hiperaktivitas lamina dental : bentuk
tambahan akan berkembang dari ekstensi lingual
benih gigi aksesoris, sedangkan bentuk rudimenter akan berkembang dari
proliferasi epithel lamina dental. Semua teori masih merupakan hipotesis karena
ketidakmampuan untuk mendapatkan bahan embriologis yang cukup dan sebagian
besar literatur mendukung teori ini.
d. Faktor genetik : hubungan gen jenis kelamin
diduga juga ikut mempengaruhi karena prevalensi hiperdonsia 2x lebih sering
pada laki-laki dibandingkan perempuan.
e.
Kondisi medis lain terkait gigi supernumerari :
1) Cleft bibir dan palatum.
2) Cleidocranial disostosis.
3) Sindrom Gardner.
4)
Kelainan lain yang lebih jarang meliputi Sindrom
Fabry Anderson, sindrom Ehlers-Danlos, incontinentia pigmenti, sindrom
Trico-Rhino-Phalangeal, sindrom Ellis-van Creveld, sindrom Nance-Horan, sindrom
Goldenhar, sindrom Hallermann-Streiff, sindrom Orofasiodigital, sindrom Marfan,
dan sindrom Rubinstein-Taybi
3.
EPIDEMIOLOGI :
Prevalensi
pada populasi berkisar antara 0,1-3,8% , dengan rasio antara laki-laki dan
perempuan adalah 2:1. Hiperdonsia lebih sering pada gigi permanen (prevalensi
0,1-3,6%) dibandingkan dengan gigi primer (prevalensi 0,02-1,9%).
Hiperdonsia
banyak terdapat pada ras Mongoloid dibandingkan ras lainnya. Gigi supernumerari
konikal adalah jenis yang paling sering terjadi. Pada laki-laki, hiperdonsia biasanya terletak
di midline dan regio premolar, dan pada perempuan biasanya terletak pada regio
incisor dan canine.
4.
CIRI-CIRI KLINIS :
a.
Klasifikasi berdasarkan morfologi atau lokasi :
1) Konikal : paling sering ditemukan atau
mahkotanya berbentuk segitiga dan akar terbentuk sempurna. Biasanya berupa
mesioden di premaksila.
2) Tuberkulat : mempunyai bentuk seperti barrel
(tong) dan mahkota memiliki tuberkel multipel yang bisa terinvaginasi dengan
akar yang belum sempurna maupun tidak terbentuk akar. Biasanya besar dan
terletak di palatal incisor maksila. Seringkali berpasangan dan bilateral.
3) Suplemental: gigi supernumerari tambahan
menyerupai gigi normal lainnya. Biasanya terjadi pada gigi permanen incisor
lateral maksila, walaupun ada juga tambahan premolar dan molar. Mayoritas gigi
supernumerari pada gigi primer termasuk suplemental dan jarang tidak erupsi.
4)
Odontoma: merupakan hamartoma (jinak, kelainan
jaringan matur yang tumbuh berlebihan) terdiri dari semua jaringan gigi dan
tampak pada radiografi dengan batas tegas, sebagian besar lesi radiopaque pada
permukaan gigi. Terdiri dari 2 tipe: compound dan kompleks. Odontoma compound
terdiri dari banyak struktur kecil yang terpisah. Odontoma kompleks adalah
massa tunggal ireguler dari jaringan gigi yang tidak mirip secara morfologis
dengan gigi normal.
b.
Klasifikasi berdasarkan lokasi:
1)
Mesiodens: gigi supernumerari konikal yang
terletak diantara incisor sentral maksila di sisi palatal. Hanya sedikit yang
tumbuh di lengkung atau di labial.
2) Paramolar: molar supernumerari, biasanya
rudimenter yang terletak di sebelah bukal, lingual, atau palatal salah satu
molar atau pada interproksimal bukal gigi molar 2 dan 3.
3) Distomolar: gigi supernumerari di distal molar
3, biasanya rudimenter. Jarang ditemukan gigi ini menghambat erupsi gigi yang
berkaitan.
4) Parapremolar: tumbuh di regio premolar dan
menjadi tambahan gigi premolar.
c.
Klasifikasi berdasarkan erupsi dan orientasi:
1)
Erupsi: koronal terlihat secara klinis
sepenuhnya dalam rongga mulut.
2)
Erupsi parsial/sebagian: hanya terlihat
permukaan oklusal.
3)
Impaksi: tidak dapat dilihat dalam rongga mulut.
Terlihat dengan radiografi.
4)
Vertikal: orientasi tumbuh normal.
5)
Inverted: orientasi tumbuh terbalik.
6)
Transverse: orientasi tumbuh horizontal.
d.
Hiperdonsia dapat menyebabkan komplikasi sebagai
berikut:
1)
Mencegah atau menghambat erupsi gigi permanen
yang berkaitan.
2)
Crowding/ maloklusi
3) Dilaserasi, terlambatnya atau perkembangan akar
abnormal pada gigi permanen terkait.
4)
Resorpsi akar gigi berdekatan.
5) Komplikasi gigi supernumerari itu sendiri
seperti terbentuknya kista, migrasi ke kavitas nasal, sinus maksila, atau
palatum durum.
6)
Merusak estetik.
7)
Dapat menekan saraf yang menyebabkan parestesi/
nyeri.
Gambar 1. Fotografi intraoral menunjukkan tambahan caninus
Gambar 2. Penampakan frontal menunjukkan gigi supernumerari
12, 22
Gambar 3. Tampilan palatal
Gambar 4. Gigi supernumerari di bukal gigi 17
Gambar 5. Tampakan radiograf
5.
PERAWATAN:
a.
Gigi supernumerari impaksi:
1)
Dengan komplikasi: operasi pencabutan.
2) Tanpa komplikasi: tidak memerlukan perawatan dan
observasi periodik. Tujuan observasi adalah mempertahankan tulang alveolar. Jika
terkait estetik maka dapat dilakukan bedah ekstrusi ortodontik diikuti
perawatan restoratif.
b.
Gigi supernumerari erupsi:
1) Dengan komplikasi: ekstraksi/ terapi endodontik
jika fusi dan karies dengan keterlibatan pulpa saluran akar.
2) Tanpa komplikasi: jika terkait estetik dengan
perawatan restoratif menggunakan resin komposit/ mahkota jaket/ ortodontik/
kombinasi.
Daftar
Pustaka
Alhashimi, N., Jawad, F., Sheeb, M., Emadi, B., Abdulla, J.,
dan Yafei, H., 2016, The Prevalence and Distribution of Nonsyndromic
Hyperdontia in A Group of Qatari Orthodontic and Pediatric Patients, Eur. J. Dent., 10(3): 392-396
Amarial, D., dan Muthu, M., 2013, Supernumerary Teeth: Review
of Literature and Decision Support System, Ind.J.Dent.Res.,
24(1): 117-122
Byahatti, S.,
2011, Hyperdontia: 3 Cases Reported, J.Clin.Diag.Res., 5(3): 665-668
Gupta, S., dan Kumar, P., 2017, A Study On Prevalence,
Complications, and Possible Etiologic Factors of Supernumerary Teeth In 6-12
Years Old Schoolchildren of Rohtak, India, Ind.
J. of Dent. Sci., 9(3): 141-147
Jain, P., Kaul, R., dan Saha, S., 2017, Rare Molariform Supernumerary
Teeth: Why Are They Bilateral?, Ind.J.Dent.Res.,
28(6): 702-705
Langlais, R., Miller, C., dan Gehrig, J., 2017, Color Atlas of Common Oral Diseases, 5th
Ed., Wolters Kluwer, Philadelphia
Mallineni, S., 2014, Supernumerary Teeth: Review of The Literature with
Recent Updates, Conf.Papers in Sci.,
p.1-6
Nirmala, S., Sandeep, C., Nuvvula, S., dan Mallineni, S., 2013,
Mandibular Hypo-Hyperdontia: A Report of Three Cases, J.Int.Soc.Prev.Commun. Dent., 3(2): 92-96
Parolia, A., Kundabala, M., Dahal, M., Mohan, M., dan Thomas,
M., 2011, Management of Supernumerary Teeth,
J.Conserv.Dent., 14(3): 221-224
Shilpa, A., Shetty, R., Shivaprasad, S., dan Ashok, L., 2017,
Nonsyndromic Multiple Impacted Supernumerary Teeth, Int. J. of Oral Health Sci., 7(1): 41-43
Srinivasan, K., dan Chitra, S., 2015, Mystery Behind
Hyperdontia: Report of Two Cases, Int.J.App.Dent.Sci.,
1(5): 05-09
Subasioglu, A., Savas, S., Kucukyilmaz, E., Kesim, S., Yagci, A., dan
Dundar, M., 2015, Genetic Background of Supernumerary Teeth, Eur.J.Dent., 9(1): 153-158
Komentar
Posting Komentar