Anomali Gigi : Taurodonsia / Taurodontism


Author : drg. Kevin Marsel

1.          DEFINISI :
Kelainan perkembangan gigi dimana badan membesar hingga meluas ke akar.

2.         ETIOLOGI :
a.         Pola perkembangan yang jarang (adanya perlambatan pada kalsifikasi kamar pulpa).
b.         Defisiensi odontoblastik dan perubahan epitel selubung akar Hertwig.
c.         Hasil dari terhambatnya perkembangan homeostasis.
d.         Disebabkan oleh beberapa sindrom :
1)         Amelogenesis imperfekta.
2)         Sindrom Down.
3)         Sindrom Apert.
4)         Hipoplasia dermal fokal atau sindrom goltz gorlin.
5)         Ectodermal dysplasia.
6)         Hipofosfatasi.
7)         Hiperfosfatasi-oligofrenia-taurodontia.
8)         Dwarfisme mikrosefali-taurodonsia.
9)         Mikrodontia-taurodonsia-dens invaginatus.
10)      Displasia okulo-dento-digital.
11)      Oral-facial-digital, tipe II.
12)      Sindrom rapp-hodgkin.
13)      Kongenital diskeratosis.
14)      Sindrom klinefelter.
15)      Sindrom triko-dento-oseus.
16)      Sindrom mohr.
17)      Sindrom wolf-hirschhorn.
18)      Sindrom lowe.
19)      Sindrom smith-magenis.
20)      Sindrom Williams
21)      Sindrom mccune-albright.
22)      Sindrom van der woude.
e.        Infeksi (osteomyelitis), hambatan perkembangan homeostasis, kemoterapi dosis tinggi, adanya riwayat transplantasi sumsum tulang belakang.

3.         EPIDEMIOLOGI :
a.      Menurut penelitian Shah dkk., dari 9022 gigi orang India, 3976 premolar dan    5046 molar, ada 100 (1,11%) gigi yang taurodonsia. Dari 525 subjek ada 62 subjek yang ada taurodonsia (11,8%). Prevalensi laki-laki 12,5% dan perempuan 9,7%.
b.     Menurut penelitian Vallabhaneni dkk., prevalensi 2,5% sampai 11,3% populasi. Gigi yang paling sering terlibat adalah molar mandibular, diikuti molar maksila dan molar kedua mandibular.
c.        Terdapat pada gigi permanen dan gigi primer tetapi jarang terdapat pada      gigi primer.

4.         CIRI-CIRI KLINIS :
a.   Rongga pulpa sangat besar dan memanjang dari apikooklusal daripada normal  dan memanjang ke apikal lebih dari CEJ. Bentuk taurodont yaitu persegi.
b.    Furkasi terletak lebih ke apikal, sehingga akarnya lebih pendek dan badan giginya besar.
c.     Secara klinis, taurodonsia tidak bisa didiagnosis karena CEJ dan akar ada di bawah margin alveolar. Diagnosa berasal dari radiografi.
d.         Klasifikasi Shaw mengklasifikasikan menjadi hipotaurodonsia, mesotaurodonsia, dan hipertaurodonsia :
1)         Hipotaurodonsia : pembesaran moderat kamar pulpa yang melebar ke akar.
2)         Mesotaurodonsia : pulpa cukup besar dan akar pendek tapi masih terpisah.
3)         Hipertaurodonsia : bentuk prisma atau silindris di mana kamar pulpa mendekati akar dan terbagi menjadi 2 atau 4 saluran.

Gambar 1. Pengukuran gigi taurodonsia oleh metode Shifman dan Channanel

Gambar 2. Klasifikasi taurodonsia oleh Shaw

Gambar 3. Hipotaurodonsia gigi molar satu dan dua mandibular

Gambar 4. Mesotaurodonsia gigi molar satu mandibular dan hipotaurodonsia gigi molar dua mandibular

Gambar 5. Perawatan endodontik gigi molar dua mandibular yang hipertaurodonsia

5.         DIFFERENTIAL DIAGNOSIS :
Pseudo hipoparatiroid, hipofosfatasia, hipofosfat resisten vitamin D, riketsia dependen, stase awal dentinogenesis imperfekta.

6.         RENCANA PERAWATAN :
a.       Gigi taurodonsia bukan merupakan sesuatu yang berbahaya dan harus            dirawat selama tidak ada keluhan. Diagnosis secara klinis sangat sulit, biasanya terdiagnosis lewat radiografi.
b.         Perawatan endodontik merupakan tantangan. Ada variasi ukuran dan bentuk kamar pulpa, jumlah saluran akar, variasi sudut obliterasi dan konfigurasi saluran akar, serta posisi orifis apikal.
c.         Taurodonsia tidak bisa dijadikan gigi pegangan untuk prostetik atau ortodontik sebagai stabilisasi.
d.       Pada perawatan periodontal, resiko keterlibatan furkasi lebih kecil daripada    gigi normal karena kerusakan gigi taurodonsia akan terjadi pada daerah sebelum furkasi terlebih dahulu.
e.      Ekstraksi gigi taurodonsia biasanya kompleks karena perubahan furkasi pada    1/3 apikal. Kasus ekstraksi akan lebih mudah apabila akar gigi tidak terlalu divergen.
f.           Gigi taurodonsia bisa menjadi petunjuk adanya sindrom dan kondisi sistemik.

Daftar Pustaka :
Dineshshankar, J., Sivakumar, M., Balasubramanium, M., Kesavan, G., Karthikeyan, M., dan Prasad, S., 2014, Taurodontism, J.Pharm.Bioallied.Sci., 6(1):13-15
Jafarzadeh, H., Azarpazhooh, A., dan Mayhall, J., 2008, Taurodontism: A Review of the Condition and Endodontic Treatment Challenges, Int.Endo.J., 41:375-388
Langlais, R.P., dkk., 2017, Color Atlas of Common Oral Disease, 5th Ed., Wolters Kluwer, China
Manjunatha, B., dan Kovvuru, S., 2010, Taurodontism-A Review on Its Etiology, Prevalence, and Clinical Considerations, J.Clin.Exp.Dent., 2(4):187-90
Muhamad, A., Azzaldeen, A., Mai, A., dan Nezar, W., 2016, Taurodontism: A Clinical Considerations, IOSR J.Dent.Med.Sci., 15(12):61-67
Shah, D., Garcha, V., Garde, J., dan Ekhande, D., 2015, Prevalence of Taurodontism Among the Patients Visiting A Dental Teahing Hospital In Pune, India: A Retrospective Orthopantomogram Study, J.Ind.Assoc.Pub.Health.Dent., 13(1): 83-86
Tejasvi, A., dan Bhayya, H., 2018, Evaluation and Comparision of Various Methods for Assessing Multiple Taurodontism: A Clinical Study, Int.J.App.Dent.Sci.; 4(1):131-135

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Anomali Gigi : Fusi

Anomali Gigi : Concrescence