Anomali Gigi : Dilaserasi
Author : drg. Kevin Marsel
1.
DEFINISI :
Pembengkokan
tajam pada akar – atau kadang-kadang mahkota gigi – biasanya lebih dari 20o.
2.
ETIOLOGI :
a. Gangguan pada jalur erupsi akibat gigi-gigi
berjejal, trauma, lesi tulang di dekatnya, atau traksi ortodontik. Namun banyak
yang meyakini trauma bukan etiologi utama, karena prevalensi dilaserasi paling
banyak pada gigi posterior, di mana lokasi tersebut tidak rentan dari trauma.
b. Adanya formasi scar, anomali
perkembangan benih gigi primari, clefting fasial, infeksi saluran akar tingkat
lanjut, perkembangan benih gigi ektopik disertai kurangnya ruang, efek struktur
anatomi (misalnya tulang kortikal pada sinus maksila, kanalis mandibula, fossa
nasalis, di mana dapat membelokkan diafragma epithel), adanya kista, tumor,
atau hamartoma odontogenik (misal odontoma dan gigi supernumerari), intubasi
orotrakeal dan laringoskopi, interfensi mekanis pada erupsi (misalnya gigi
desidui ankilosis yang tidak resorb), transplantasi gigi, ektraksi gigi
desidui, dan faktor herediter.
c. Beberapa sindrom dan anomali
perkembangan, misalnya Sindrom Smith-Magenis, sindrom Ehlers-Danlos tipe
hipermobilitas, sindrom Axenfeld-Rieger, dan iktiosis kongenital.
3.
EPIDEMIOLOGI :
Dilaserasi
akar pada incisor, canine, dan premolar lebih sering terjadi pada 1/3 akar
gigi. Dilaserasi dari 2/3 akar gigi lebih sering terjadi di molar, sedangkan
dilaserasi mencapai 1/3 koronal terjadi pada molar tiga. Dilaserasi mahkota
lebih jarang dibandingkan dilaserasi akar, dan ini biasanya lebih sering
terjadi pada incisor permanen RA.
Tabel
1. Prevalensi Gigi Dilaserasi : Rangkuman dari Literatur Dental
Penulis (tahun)
|
Gigi
|
Ras
|
Persentase Dilaserasi (%)
|
Tipe Studi
|
Thongudomporn dan Freer (1998)
|
Semua gigi
|
Tidak disebutkan
|
1,8 pasien
|
Radiografi
panoramik
|
Hamasha et al (2002)
|
Semua gigi
|
Yordanian
|
3,78
|
Radiografi periapikal
|
Malcic et al (2006)
|
I1 RA
|
Kroasian
|
1,3
|
Radiografi periapikal
|
I2 RA
|
7
|
|||
C RA
|
3,6
|
|||
P1 RA
|
4,5
|
|||
P2 RA
|
6,7
|
|||
M1 RA
|
15
|
|||
M2 RA
|
11,4
|
|||
M3 RA
|
8,1
|
|||
I1 RB
|
1,7
|
|||
I2 RB
|
0
|
|||
C RB
|
1,2
|
|||
P1 RB
|
2,1
|
|||
P2 RB
|
1,5
|
|||
M1 RB
|
2,2
|
|||
M2 RB
|
1,7
|
|||
M3 RB
|
24,1
|
|||
Malcic
et al (2006)
|
I1 RA
|
Kroasian
|
O,53
|
Radiografi panoramik
|
I2 RA
|
1,43
|
|||
C RA
|
0,74
|
|||
P1 RA
|
3,32
|
|||
P2 RA
|
4,1
|
|||
M1 RA
|
7,01
|
|||
M2 RA
|
7,84
|
|||
M3 RA
|
8,46
|
|||
I1 RB
|
0,42
|
|||
I2 RB
|
0,32
|
|||
C RB
|
0,93
|
|||
P1 RB
|
1,42
|
|||
P2 RB
|
1,99
|
|||
M1 RB
|
0,45
|
|||
M2 RB
|
1,99
|
|||
M3 RB
|
30,92
|
Tabel 2. Gigi Paling
dan Terakhir Terpengaruh yang Memiliki Dilaserasi Akar
Penulis
|
Ras
|
Gigi yang Paling Terdampak
|
Gigi Paling Tidak Terpengaruh
|
Wheeler
|
Tidak disebutkan
|
M3
|
Tidak disebutkan
|
I2 RA
|
|||
Thongudomporn dan Freer
|
Tidak disebutkan
|
I2 RA (1,8%)
|
Tidak disebutkan
|
Neville et al
|
Tidak disebutkan
|
I RA
|
Tidak disebutkan
|
Anterior RB
|
|||
White dan Pharoah
|
Tidak disebutkan
|
P RA
|
Tidak disebutkan
|
Hamasha et al
|
Yordanian
|
M3 RB (19,2%)
|
I RA dan RB (1%)
|
M1 RB (5,6%)
|
|||
Malcic et al
|
Kroasian
|
M3 RB (24,1%)
|
I2 RB (0%)
|
M1 RA (15,3%)
|
C RB (1,2%)
|
||
M2 RA (11,4%)
|
I1 RA (1,2%)
|
||
M3 RA (8,1%)
|
P2 RB (1,5%)
|
Tabel 3.
Rangkuman Hubungan Antara Dilaserasi dengan Beberapa Sindrom
Penyakit
|
Tipe
Keturunan
|
Ciri
Oral
|
Ciri
Sistemik
|
Insidensi
Dilaserasi
|
Sindrom Smith-Magenis
|
Autosomal dominan
|
Gigi dilaserasi, agenesis, taurodonsia
|
Retardasi mental, hipotonia infantil, letargi
infan, brakisefali, brakidaktili, abnormal okular
|
33%
|
Sindrom Ehlers-Danlos
|
Autosomal resesif, autosomal dominan, X-linked
resesif
|
Gigi dilaserasi, hipodonsia, displasia dentin,
transmigrasi, erupsi ektopik, erupsi delayed
|
Sendi hiperlaksiti, kulit hiperekstensi
|
Tidak disebutkan
|
Sindrom Axenfeld-Rieger
|
Autosomal dominan
|
Gigi dilaserasi, akar pendek, frenum hiperplastik,
perkembangan maksila kurang, crossbite anterior, openbite posterior
bilateral, crowding anterior
|
Malformasi okular dan ekstraokular
|
Tidak disebutkan
|
Iktiosis kongenital
|
Autosomal resesif
|
Gigi dilaserasi, erupsi gigi delayed
|
Hiperkeratosis lutur dan siku, kulit bersisik
seperti ikan
|
Tidak disebutkan
|
4.
CIRI-CIRI KLINIS :
a. Akar atau mahkota gigi yang bengkok.
b. Dilaserasi mahkota bisa dilihat secara klinis, sedangkan dilaserasi
akar memerlukan pemeriksaan radiografi (periapikal sebagai metode terbaik).
c. Dilaserasi mesial atau distal biasanya
bisa dideteksi dengan radiograf, namun dilaserasi bukal atau lingual tampak
berbentuk bulat opaq dengan radiolusen di tengahnya (penampakan bull’s eye /
mata kerbau).
5. DIFFERENTIAL DIAGNOSIS :
Fusi
akar, condensing osteitis, dense bone island.
6. RENCANA PERAWATAN :
Dilaserasi
tidak menimbulkan keluhan. Hal yang harus diperhatikan adalah apabila gigi
dengan dilaserasi memerlukan perawatan seperti endodontik. Klinisi harus
memiliki pengetahuan tentang anatomi saluran akar dan radiograf yang memadai
sehingga mengetahui arah dilaserasi (radiograf periapikal adekuat, jika kurang
tampak bisa dilakukan pengaturan angulasi pengambilan gambar atau dengan
bantuan CT-scan).
Instrumen
dengan ujung non-cutting dan terbuat dari nikel titanium (NiTi) pada kasus
dilaserasi kurang cocok digunakan. Instrumen untuk dilaserasi harus dibuang
setelah pemakaian (“single use instruments”). Kesuksesan endo tergantung pada
debridemen saluran akar dan eliminasi mikroorganisme dari saluran akar.
Pemakaian irigasi, dan rekapitulasi file harus sering dilakukan. Pemakaian medikamen
intrakanal bisa digunakan untuk menambah keberhasilan perawatan. Medikamen intrakanal
(bisa memakai kalsium hidroksid) berguna untuk mengubah lingkungan intrakanal,
sehingga mikroorganisme tidak bisa bertahan pada daerah yang tidak terjangkau
instrumen mekanis. Untuk mencapai 1/3 akar dilaserasi, kalsium hidroksid bisa
dicampur dengan gliserin.
Ekstraksi
gigi dilaserasi sulit dan mudah sekali terjadi fraktur pada akar dilaserasi. Radiograf
preoperatif harus disiapkan terlebih dahulu. Apabila akan melakukan perawatan
orto untuk ekstrusi gigi dilaserasi, maka prosedurnya sulit atau bahkan
mustahil. Menjadikan gigi dilaserasi sebagai gigi abutment gigi tiruan juga
tidak disarankan karena konsentrasi stres pada gigi dilaserasi akan disalurkan
ke struktur pendukung sekitarnya. Hal ini akan mempengaruhi kestabilan dan
keawetan gigi abutment dan prostesis.
Sumber :
1. Langlais,
R. P., 2009, Atlas Berwarna Lesi Mulut
yang Sering Ditemukan Edisi 4, Jakarta, EGC
2. Jafarzadeh,
H., dan Abbott, P.V., 2007, Dilaceration : Review of an Endodontic Challenge, JOE 33(9) : 1025-1030
3. Walia,
P.S., Rohilla, A.K., Choudhary, S., dan Kaur, R., 2016, Review of Dilaceration
of Maxillary Central Incisor : A Multidisciplinary Challenge, Int.J.Clin.Pediatr.Dent. 9(1):90-98
Komentar
Posting Komentar